Ale meyakini ritual yang erat dengan kepercayaan Hindu itu bisa membuat kawasan pesisir terjaga keasriannya melalui interaksi kearifan lokal warga setempat bersama alam.
Situasi pandemi
Baca Juga:
Kemenparekraf Hadirkan 'Wonderspace by Wonderful Indonedia' di Stasiun MRT Bundaran HI Kenalkan 5 DPSP
Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19, ekonomi penduduk Pulau Mutus yang bertetangga dengan Sauwandarek masih terpuruk akibat potensi ekspor tangkapan ikan kerapu menuju Hongkong terhenti setelah ditinggal oleh pengepul tunggal asal Makassar.
Penduduk setempat Yoram Sauyai (36) mengaku mengalami penurunan pendapatan dari Rp2 juta menjadi Rp300 ribu per hari akibat situasi itu. Ketiadaan pengepul mengakibatkan hasil tangkapan membusuk di rumah nelayan.
"Sekarang kami menjual ikan beku setelah mendapat bantuan dari program Coremap-CTI untuk menyimpan ikan. Tapi harganya anjlok dari Rp220 ribu per kilogram untuk ikan hidup, jadi Rp80 ribu per kilogram untuk ikan beku," katanya.
Baca Juga:
Sandiaga Dorong Pelaku Ekraf Bekasi Maksimalkan Digitalisasi dalam Pemasaran
Pendapatan yang diperoleh ayah dari dua putra itu saat ini hanya menutup biaya solar untuk melaut. Bahkan pelatihan membuat pangan olahan rumput laut pun gagal akibat tidak memiliki jejaring pasar untuk distribusi ke konsumen.
Meski perkampungan nelayan berpopulasi sekitar 500 jiwa itu telah dilengkapi fasilitas bantuan lemari pendingin berkapasitas 50kg dan mesin pencetak es batu berbahan solar sel, tapi masa simpan yang terlalu lama membuat ikan busuk. Dalam kondisi tertentu, bobot ikan yang tak terjual bisa mencapai lebih dari 1 ton.
Alternatif yang dilakukan penduduk setempat adalah mengolah ikan mati untuk dijemur oleh kaum ibu rumah tangga menjadi produk ikan asin.