Gelaran ini diinisiasi oleh Organisasi Pariwisata Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO).
Tidak Selalu Manis
Baca Juga:
Pramuka Sergai Siap Hadapi Tantangan Zaman, Bupati Tekankan Pentingnya Pendidikan Karakter
Namun demikian, pengembangan desa wisata nyatanya tidak selalu berjalan manis, pada implementasinya banyak desa terkesan belum siap dan dipaksakan berlabel desa wisata. Desa tersebut sebenarnya sudah memiliki potensi berupa daya tarik alam, budaya, dan buatan untuk dipasarkan, tetapi terkendala oleh sumber daya masyarakat yang belum layak.
Temuan dari Raharjana dan Putra (2020) memaparkan terdapat beberapa masalah pelik masyarakat dalam pengembangan desa wisata, antara lain kemampuan bahasa Inggris masyarakat desa yang terbatas, terbatasnya pelayanan (hospitality), terbatasnya kemampuan bidang marketing dan promosi, serta kemampuan individu untuk story telling.
Aspek infrastruktur dan akses yang belum dibenahi juga menghambat proses pengembangan desa wisata.
Baca Juga:
Tingkatkan Kualitas SDM, Pemkab Fakfak Jalin Kerjasama dengan Sekolah Daarut Tauhiid Indonesia
Selain itu, kondisi pandemi Covid-19 turut menjadi biang penghambat pengembangan desa wisata karena aktivitas kunjungan wisata yang dibatasi. Sebagai contoh nyata, data menyebutkan bahwa di Kabupaten Sleman, DIY terdapat delapan desa wisata yang terpaksa vakum.
Agar kualitas desa wisata terjaga idealnya desa wisata memiliki standar dalam hal atraksi, aksesibilitas, amenitas, paket yang tersedia, aktivitas desa, serta yang tak kalah penting adalah layanan pendukung.
Sebagai contoh, Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman memiliki standar penilaian dengan memperhatikan aspek potensi desa, kapasitas pengelola, peran masyarakat, amenitas, pemasaran, aksesibilitas, jumlah kunjungan wisatawan, dan kepemilikan aset.