Jurnalmaritim.id | Dengan diserahkannya 525 sertifikat kepada masyarakat yang hidup di atas laut, tepatnya di Kampung Mola, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara dalam kegiatan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022, diharapkan menjadi garis permulaan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat maritim dan pesisir yang ada di seluruh Indonesia.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama dengan kementerian/lembaga terkait berkomitmen, untuk terus berkolaborasi dalam memberikan kepastian hukum terhadap aset masyarakat maritim dan pesisir.
Baca Juga:
Wali Kota Manado: Kerja Sama Perlindungan Sumber Daya Laut
Direktur Pengaturan Tanah Komunal, Hubungan Kelembagaan dan PPAT pada Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Sepyo Achanto, kemudian menyampaikan arti penting dari penyertipikatan tanah bagi masyarakat maritim dan pesisir.
"Jadi kita harus segera melakukan inventarisir, kemudian melaporkan dan dilakukan pendaftaran di lokasi (pesisir) tersebut untuk bisa memberikan akses kemakmuran dalam rangka pemberdayaan dengan menggunakan sertifikat tersebut, untuk membuka akses perekonomian, kemudian juga memberikan kepastian hukum," ujar Sepyo Achanto dalam siaran resminya yang diterima, Rabu (22/6/2022).
Demi mencapai tujuan tersebut, Sepyo Achanto mengungkapkan, perlu koordinasi lintas sektor seperti halnya yang dilakukan dalam kegiatan GTRA Summit 2022, di Kabupaten Wakatobi lalu.
Baca Juga:
Ketua Kanopi Hijau: Gugus Tugas Reforma Agraria Harus Atasi Konflik Mukomuko
Menurutnya, GTRA merupakan koordinasi yang sangat baik karena di dalamnya tergabung berbagai unsur, yakni pemerintah daerah, penegak hukum, dan organisasi kemasyarakatan. Sehingga, dapat menyatukan visi misi demi mencapai tujuan bersama.
Terkhusus untuk masyarakat maritim dan pesisir, koordinasi juga dibutuhkan di tingkat kementerian/lembaga.
"Sebagaimana kita ketahui, khusus untuk pesisir ini tidak bisa lepas dari koordinasi dengan teman-teman di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," ucapnya.
Sepyo Achanto juga menjelaskan bahwa kegiatan GTRA tui nantinya tidak hanya berhenti di pemberian sertipikat kepada warga.
"Output kegiatan GTRA itu tentunya access reform dan asset reform. Access reform, yakni pemberdayaan masyarakat, dengan akses ini membuka akses kemakmuran di lokasi GTRA. Sementara, asset reform, yaitu melegalkan aset-aset benda tetap seperti tanah itu yang asetnya dilegalkan," tuturnya.
Adapun webinar itu turut dihadiri oleh Koordinator Masyarakat Hukum Adat dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Mohammad Ismail; Dosen Institut Pertanian Bogor, Rilus A. Kinseng; dan Koordinator Konsorsium Penataan Agraria Sulawesi Tenggara, Donia Moidady. [jat]