Wahmu bercerita pemdes sempat berinisiasi untuk membangun rumah produksi pupuk organik pada 2019. Namun, karena keterbatasan anggaran, pihaknya hanya mampu membeli mesin pencacah sampah.
“Di tahun 2020 itu ada pendampingan dari BKD dan kerja sama Bank Jateng, memberikan bantuan alat pengayak sampah, bangunan rongga untuk fermentasi, tempat sampah, dan becak pengangkut sampah. Nah, saat itu produksi pupuk organik bisa beroperasi,” ungkap Wahmu.
Baca Juga:
Langgar Keimigrasian, Imigrasi Pemalang deportasi WNA Asal Mesir
Dari berbagai bantuan alat itu, pihaknya kemudian mengembangkan produksi pupuk organik dan mampu menghasilkan sekitar 1 ton kompos dalam sebulan.
Hasil pembuatan kompos itu tidak dijual belikan, melainkan diberikan ke petani secara gratis untuk membantu mengurangi kebutuhan pupuk.
Keberhasilan mengelola pupuk organik itu kemudian dikembangkan menjadi eduwisata sawah. Selain bisa belajar mengelola pertanian dengan pupuk organik, pengunjung yang datang juga bisa menikmati kuliner khas desa dan berswafoto.
Baca Juga:
Polres Pemalang Evakuasi Truk Ekspedisi Terbakar di Tol Pemalang
“Sekarang saya mengembangkan menjadi wisata edukasi sawah kita namakan Gatra Kencana. Beberapa daerah datang kesini untuk studi banding, seperti Brebes, Tegal, Pekalongan, dan Demak. Sejak dibuka Desember lalu, kini sudah mampu memberi pemasukan Rp500 juta,” jelasnya.
Seorang petani Desa Bojongnangka, Carmo, mengaku senang desanya telah mampu memproduksi pupuk organik sendiri.
“Senang, karena kalau mau menanam tinggal minta ke Pak Lurah, dan ambil sendiri,” katanya.