Wahanatani.com | Sanksi Barat terhadap Rusia, pengekspor utama kalium, amonia, urea, dan nutrisi tanah lainnya, telah mengganggu pasokan dunia. Membuat harga pupuk menjadi lebih mahal.
Melansir dari CNBC Indonesia, Di Amerika Serikat (AS), harga pupuk diperkirakan melonjak 12% tahun ini, setelah naik 17% pada tahun 2021, menurut data Federasi Biro Pertanian Amerika dan Departemen Pertanian AS (USDA).
Baca Juga:
Mendagri Apresiasi Perjuangan Mentan Amran Tambah Alokasi Pupuk
Harga pupuk global sudah tinggi sebelum serangan Rusia pada 24 Februari, ke Ukraina. Harga gas alam dan batu bara memaksa beberapa pembuat pupuk untuk memangkas produksi sehingga output yang dihasilkan minim.
Gabungan, Rusia dan Belarus menyumbang lebih dari 40% dari ekspor global kalium tahun lalu, salah satu dari tiga nutrisi penting yang digunakan untuk meningkatkan hasil panen, menurut Rabobank. Rusia sendiri menyumbang sekitar 22% dari ekspor global amonia, 14% dari ekspor urea dunia, dan sekitar 14% dari monoammonium fosfat (MAP). Semua merupakan jenis pupuk utama.
Sanksi telah mengganggu penjualan pupuk dan tanaman dari Rusia. Banyak bank dan pedagang dari Barat menghindari barang dari Rusia karena takut melanggar aturan. Sementara perusahaan pelayaran menghindari wilayah Laut Hitam karena masalah keamanan.
Baca Juga:
Masuk Daftar 500 Perusahaan Terbaik, Pupuk Indonesia Berjaya di Kancah ASEAN
Beberapa petani sedang mempertimbangkan untuk beralih ke tanaman yang membutuhkan lebih sedikit nutrisi dari pupuk.
Lainnya berencana untuk mengolah lebih sedikit lahan tanam. Ada juga petani yang mengatakan mereka hanya akan menggunakan lebih sedikit pupuk, di mana hal ini diprediksi oleh para ahli tanaman akan merusak hasil panen.
Gangguan produksi paling berisiko terjadi di negara berkembang. Di sana petaninya memiliki lebih sedikit sumber keuangan untuk menghadapi badai, kata Tony Will, kepala eksekutif CF Industries Holdings CF.N yang berbasis di Illinois, produsen pupuk nitrogen terkemuka.
"Kekhawatiran saya saat ini sebenarnya adalah salah satu krisis pangan secara global," kata Will kepada Reuters.
Maximo Torero, kepala ekonom untuk Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, mengutarakan hal yang sama.
"Krisis pupuk dalam beberapa hal lebih mengkhawatirkan karena dapat menghambat produksi pangan di seluruh dunia yang dapat membantu mengatasi kekurangan tersebut," kata Torero.
"Jika kita tidak menyelesaikan masalah pupuk, dan perdagangan pupuk tidak berlanjut, maka kita akan menghadapi masalah pasokan (makanan) yang sangat serius tahun depan," tambahnya.
Waspada Pasokan dari Rusia Bakal Langka
Dampak pupuk yang mahal akan terasa hingga Indonesia. Pasalnya Indonesia adalah importir bersih pupuk dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 impor pupuk Indonesia mencapai 8,1 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 834,76 juta atau setara Rp 11,94 triliun.
Tak hanya soal harga, Indonesia bisa saja kehilangan pasokan pupuk. Pasalnya Indonesia mengimpor 210,7 juta ton atau setara 11,9% total ekspor pupuk Indonesia. Menempatkan Rusia menjadi negara pemasok terbesar nomor 4 setelah China, Kanada, dan Mesir, berdasarkan data BPS tahun 2020.
Beban impor bisa meningkat seiring dengan harga pupuk yang melonjak. Ujungnya akan sampai ke petani dan mengganggu hasil panen. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara.
Di negara bagian barat-tengah Mato Grosso, Brasil, seorang petani mengatakan kepada Reuters bahwa dia telah mengurangi penggunaan pupuk pada tanaman jagungnya saat ini. Dia mengatakan akan melakukan hal yang sama ketika dia menanam kedelai akhir tahun ini yang memungkinkan akan membuat panennya turun setidaknya 8%.
Di Zimbabwe, impor pupuk yang langka dan mahal telah memaksa petani jagung seperti membuat pupuk sendiri. "Kami mencampur kotoran sapi atau kotoran ayam dengan seng," kata seorang petani di sana. [tum]