WahanaNews-Tani | Kementerian Pertanian (Kementan) beberkan alasan Bulog kesulitan menyerap beras langsung dari petani. Padahal, saat ini ada 1,8 juta ton beras yang siap diserap.
Direktur Serealia Kementerian Pertanian, Ismail Wahab menjelaskan, perbedaan harga yang ditawarkan Bulog dengan harga pasar cukup berbeda.
Baca Juga:
Kalimantan Selatan Tuan Rumah, Ini Arti dan Makna Logo Resmi HPN 2025
Oleh sebab itu, sejumlah pengepul lebih memilih untuk menjual beras langsung pada konsumen.
"Jadi ada 1,8 juta ton yang masih bisa diserap oleh Bulog," kata Ismail saat konferensi pers virtual, Jumat (18/11/22).
"Memang rata-rata penggilingan memberikan harga Rp10.300, harga berasnya, tapi Bulog menyampaikan kami hanya menerima Rp9.700, itu kendalanya," sambungnya.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Ismail menjelaskan, kenaikan harga pada masa panen kali ini disebabkan pasokan yang lebih rendah dari masa panen sebelumnya.
Menurutnya, stok beras selama Oktober hingga Desember selalu lebih sedikit dari periode sebelumnya. Pola ini pun terjadi setiap tahun.
"Tanpa ada kenaikan harga BBM dan pupuk, harga gabah, harga beras di bulan-bulan ini, Oktober-Desember, selalu lebih tinggi. Kenapa? Pasokannya lebih rendah, petani menggunakan pupuk non-subsidi. (Harga tinggi) itu untuk mengkompensasi pupuk non-subsidi, jual beras lebih tinggi," tuturnya.
Terlebih menurut Ismail, setelah ada kenaikan harga BBM, para pekerja di sektor pertanian menuntut kenaikan upah hingga Rp20-25 ribu per hari.
"Jadi segi produksi cukup, tapi komponen-komponen yang membuat produksi itu naik, costnya nambah," ucap Ismail.
Selain itu, ia mengungkapkan kemungkinan lain yaitu adanya sentimen negatif yang timbul di kalangan petani sebab ketidakmampuan Bulog untuk menyerap beras dengan harga pasar.
"Mungkin petani mikir pemerintah tidak punya alat untuk memberikan sentimen positif," tegasnya.(jef)