Pada pekan lalu, CBP yang ada di gudang Bulog hanya 280 ribu ton. Jumlah tersebut sangat kecil, karena mulai Maret hingga Mei nanti Bulog harus menyalurkan bantuan sosial (bansos) beras untuk 21,35 juta keluarga kurang mampu.
Dalam bantuan tersebut, masing-masing keluarga akan mendapatkan beras 10 kg. Artinya, perlu 630 ribu ton.
Baca Juga:
Lindungi Industri dan UMKM, Mendag Musnahkan Produk Impor Senilai Rp5,3 Miliar
"Kalau mengandalkan penyerapan/pengadaan dari dalam negeri mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada. Bapanas memang telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di petani jadi Rp5.000/kg dan beras di gudang Bulog Rp9.950/kg. Tapi harga gabah dan beras di pasar masih lebih tinggi dari HPP," katanya.
Khudori menambahkan Bapanas dan Kemenko Perekonomian telah mengumpulkan puluhan penggilingan besar dan menengah untuk membantu memperbesar serapan beras Bulog.
Mereka diminta berkomitmen untuk membantu Bulog. Tapi komitmen yang mampu diikat tidak besar, hanya 60 ribu ton. Cara-cara ini selain tak banyak membantu, boleh jadi juga tidak ramah pasar. Pemerintah mesti membuang jauh cara-cara tak ramah pasar. Bisa saja Bulog menyerap lewat mekanisme komersial.
Baca Juga:
Permendag Nomor 8 Tahun 2024 Membuat Industri Plastik Terancam Terpuruk
"Jika ini ditempuh, boleh jadi CBP akan membaik jumlahnya. Tapi langkah ini sama saja mendorong Bulog agresif masuk ke pasar dan berkompetisi dengan pelaku usaha lain, baik penggilingan padi maupun pedagang beras, untuk memperebutkan gabah/beras," katanya.
Langkah itu jelas tidak tepat dan menyalahi khittah keberadaan Bulog. Cara ini hanya akan membuat harga tertarik ke atas alias akan semakin tinggi. Sebab itu, ia menyarankan perlu ada upaya-upaya yang serius untuk menggenjot produksi dan produktivitas. Produksi dari 2018 ke 2022 terus menurun.
Produktivitas memang naik, tapi minor. Tahun ini, tantangan produksi diperkirakan jauh lebih sulit ketimbang tahun lalu yang masih mengalami La-Nino.