WahanaNews-Tani | Sejumlah distributor dan pengecer pupuk diundang oleh Komisi VI DPR untuk meminta masukan mereka dalam upaya memperbaiki kebijakan pupuk bersubsidi yang kerap dikeluhkan petani.
“Kami ingin mendapatkan informasi soal masalah rantai pasok distribusi secara langsung baik itu dari distributor juga pengecer dan gapoktan,” kata Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima, dalam rapat dengar pendapat Panja Distribusi Pupuk dengan distributor dan pengecer pupuk di Jakarta, Senin (28/11).
Baca Juga:
Kalimantan Selatan Tuan Rumah, Ini Arti dan Makna Logo Resmi HPN 2025
Aria Bima mengaku telah mendengar banyak keluhan soal distribusi pupuk bersubsidi melalui media sosial dan media arus utama. Ada keluhan bahwa pupuk langka hingga terlambat disalurkan, khususnya di musim tanam.
“Itu masalah bukan hari ini saja, tapi masalah yang terus berulang dan sering terjadi setiap tahunnya. Saya sudah 20 tahun di sini, pupuk selalu jadi masalah di lapangan. Ini dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan hasil panen yang memang rentan terhadap masalah di tingkat petani,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Distributor Pupuk Indonesia (ADPI) Agung Wahyudi menjelaskan masalah di pupuk bersubsidi terjadi sejak dari tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporan.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Permasalahan di tahap perencanaan di antaranya karena belum maksimalnya pendampingan penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDKK) di kelompok tani. Tidak semua petani yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi masuk dalam sistem RDKK.
“Belum stabilnya sistem informasi RDKK, serta alokasi ketersediaan pupuk bersubsidi yang belum mencukupi kebutuhan petani juga lambatnya regulasi tentang alokasi pupuk bersubsidi,” katanya.
Agung juga menjelaskan masalah di tingkat pelaksanaan yang meliputi sulitnya pengecer membagi jatah pupuk bersubsidi kepada petani/kelompok tani jika jumlahnya di bawah RDKK. Juga belum adanya regulasi tentang diperbolehkannya membuka kemasan pupuk yang jumlahnya di bawah satu sak (50 kg).
“Fee juga tidak berbanding lurus dengan kinerja dan kewajiban yang dibebankan,” katanya.
Fee atau biaya kepada distributor sendiri belum pernah naik sejak 2012, berupa fee kinerja dan ongkos transportasi.
Ada pun masalah di tingkat pelaporan, lanjut Agung, yaitu laporan administrasi penyaluran dan persediaan pupuk bersubsidi sangat banyak dan tidak efisien, sistem pelaporan yang seringkali berubah format dan jumlahnya serta belum semua SDM di tingkat pengecer resmi yang mampu beradaptasi dengan perubahan regulasi pelaporan.
Sementara itu, Gapoktan melaporkan sejumlah masalah yang mereka hadapi di lapangan, antara lain adanya kartu tani yang harus sesuai namanya dan tidak bisa diwakilkan.
Selain itu, proses administrasi yang membutuhkan waktu lebih dari lima bulan sangat mempersulit petani karena petani penggarap umumnya kerap berganti.
Begitu pula kebutuhan dosis pupuk bersubsidi yang ditentukan pemerintah pusat padahal kebutuhan setiap wilayah sangat berbeda.(jef)