WahanaNews-Persona | Keluarga korban meninggal akibat kerusuhan di ajang Pilkades serentak di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ungkap kejanggalan dari peristiwa yang merenggut nyawa Muhardin (51). Mereka menduga korban meninggal bukan karena terkena lemparan batu.
"Saya tidak berani pastikan apakah ayah saya terkena batu atau peluru, itu yang kami gali saat ini, secara pribadi saya katakan bapak meninggal bukan karena terkena batu," kata anak korban Muhardin, Nanang Suhendra (31) pada detikBali Selasa (12/7/2022).
Baca Juga:
Festival Rimpu Mantika Jadi Momen Promosi Parekraf Bima NTB
Ia mengatakan polisi juga belum memastikan motif dari meninggal nya korban. Menurut Nanang, pada saat kejadian hujan batu itu, disusul dengan tembakan peringatan dari pihak kepolisian yang melakukan penjagaan.
"Polisi juga belum berani pastikan itu terkena batu, kalaupun mereka pastikan itu, artinya mereka sudah tahu pelakunya," tegas Nanang.
Nanang mengungkapkan kejanggalan yang ditemukannya pada saat ayahnya dinyatakan meninggal. Saat itu datang seorang oknum polisi dari Polsek Ambalawi dengan membawa surat penyataan menolak untuk dilakukan autopsi.
Baca Juga:
Sandiaga Kunjungi Kampung Tenun Rabadompu Bima NTB
"Tapi yang membuat kami heran kemarin, ada penyidik dari Polsek Ambalawi yang membawa pernyataan sikap atas nama saya, isi pernyataan tersebut bahwa keluarga korban menolak untuk dilakukan otopsi, begitu bunyi redaksi surat pernyataan tersebut," ungkapnya.
Dari isi surat itu, Nanang mengaku tidak tahu apa-apa dan tidak pernah membuat surat pernyataan tersebut. Namun tiba-tiba saja didatangi dan disuruh untuk tanda tangan.
"Saya pun bertanya, kenapa saya harus tanda tangan pernyataan sikap atas nama saya, tapi mereka yang menulisnya (membuatnya). Tapi polisi menjawab itu untuk sementara, ketika nanti mau diotopsi lagi, dibuatkan lagi. Saya bilang tidak boleh begitu, surat pernyataan itu harusnya saya yang membuatnya," ucapnya.
Keluarga Minta Keadilan Kasus yang Menimpa Ayahnya
Nanang mengungkapkan pihak keluarga meminta keadilan atas kasus kematian ayahnya tersebut dengan mengharapkan kerja profesional dari pihak kepolisian yang menanganinya.
"Harapan besar kami sebagai pihak keluarga, kami meminta kejelasan. Karena saat kejadian, polisi tidak hanya satu dua orang, tapi sangat banyak. Intinya kami meminta keadilan, walaupun mati tidak bisa kita hindari, tapi penyebabnya inilah yang tidak bisa kami biarkan begitu saja," ujar Nanang.
Untuk menuntaskan kasus dan kebutuhan proses penyelidikan, keluarga bersedia ketika diminta persetujuan untuk dilakukan autopsi meskipun dengan membongkar kembali makam korban.
"Kami akan siap ketika dibutuhkan oleh polisi dalam mengungkap kematian ayah kami seperti otopsi. Kalaupun nanti dibutuhkan, meskipun makamnya dibongkar kembali, kami siap lakukan dan setujui," tegasnya. [afs]