Berdasarkan hal itu, Said menyebut pejabat publik cenderung legalistik. Harusnya, kata dia pejabat publik menekankan pada segi etik atau kepatutan alih-alih mengedepankan segi legalistik atau landasan hukum.
"Pertanyaannya begini, kita mau hidup dalam ukuran boleh tidak boleh atau legalistik atau patut tidak patut?" kata Sudirman.
Baca Juga:
MK Kabulkan Uji Materi Soal Pejabat Daerah dan Anggota TNI/Polri dapat Dipidana Jika Tidak Netral di Pilkada
Sudirman menyebut bahwa ada bahaya besar yang mengintai jika para pemimpin dan orang-orang yang punya pengaruh besar berpikir legalistik. Pasalnya, kata dia mereka bisa menciptakan hukum untuk dirinya sendiri.
"Ada bahaya besar kalau para pejabat publik pemimpin publik, para publik figur, orang-orang punya pengaruh besar itu hidup di taraf legalistik, kalau top management di mana pun, berpikir legalistik dia bisa buat hukum untuk dirinya sendiri," jelasnya.
Sudirman merangkum, ada dua kondisi yang saat ini sangat dirisaukan di Indonesia. Pertama, lanjut dia telah tercampuraduknya lingkup privat dan publik domain. Kedua, perihal kecenderungan penguasa yang hidup legalistik.
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
"Atau mencari-cari landasan hukum supaya niat perbuatannya itu bisa dialasi dengan hukum," kata Said.
Selain itu, Said turut mengungkit soal aturan yang membatasi calon kepala daerah yang mempunyai hubungan dengan petahana yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 silam.
"Mengintervensi MK dengan me-recall hakim konstitusi, apakah itu tindakan yang legal, tadinya tidak legal tapi kemudian diputar sedemikian rupa sehingga itu legal," ungkapnya.[zbr]