Dalam kesempatan yang sama, Habib Rab mengungkapkan, kebijakan perdagangan penting bagi transisi hijau Indonesia. “Analisis World Bank menunjukkan, reformasi perdagangan dapat meningkatkan akses Indonesia ke barang dan teknologi ramah lingkungan yang penting. Meningkatnya permintaan global terhadap barang ramah lingkungan juga menawarkan peluang bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi ke industri dan teknologi hijau," urai Habib.
Csilla Lakatos menjelaskan, berdasarkan data perdagangan di tingkat perusahaan, jumlah perusahaan yang terlibat di dalam kegiatan perdagangan barang hijau (green goods) terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama dalam kegiatan impor.
Baca Juga:
Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kemendag: Pada 2025, Ekspor Perlu Tumbuh 7-10 Persen
Menurutnya, mereformasi non-tariff measure (NTM) seperti persetujuan impor, kepatuhan terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI), dan persyaratan label dapat meningkatkan perdagangan barang hijau.
Adapun Nugroho Adi Sasongko mengatakan, penilaian daur hidup (life cycle asssesment/LCA) adalah penilaian kuantitatif terkait keberlanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial) sepanjang tahapan produk atau rantai pasok.
Menurutnya, pelaku usaha di Indonesia perlu bergegas melakukan LCA untuk mengurangi jejak karbon. Sementara itu, Fabby Tumiwa berujar, Indonesia dapat kehilangan kesempatan menjadi bagian dari rantai pasok global jika emisi karbon dioksida (CO2 ) tidak berkurang. Hal ini disebabkan intensitas emisi CO2 dapat menghalangi minat investasi dari industri yang berorientasi ekspor. [JP]