WahanaInfrastruktur.com | Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kasan menguraikan, upaya Kementerian Perdagangan untuk menyelaraskan kebijakan perdagangan dengan target pembangunan ekonomi hijau menjadi sangat kritis bagi perdagangan ke depan.
Hal ini untuk memastikan agar tidak terjadi turbulensi kuat di sektor perdagangan dalam proses transisi hijau Indonesia. Demikian disampaikan Kasan dalam pidato kuncinya pada Gambir Trade Talk (GTT) #8 yang digelar secara hibrida di Hotel Borobudur, Jakarta, pada hari ini, Rabu (12/10).
Baca Juga:
Dorong Penetrasi ke Pasar Meksiko, Kemendag Kurasi Produk Mamin UMKM Indonesia untuk Pameran Ritel
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Ekonom Utama World Bank Indonesia dan Timor Leste Habib Rab; Ekonom Senior Makroekonomi, Perdagangan, dan Investasi World Bank Indonesia dan Timor Leste Csilla Lakatos; Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan, dan Penilaian Daur Hidup Nugroho Adi Sasongko; dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Bertindak selaku moderator Exist In Exist.
"Peran Kementerian Perdagangan bagi transisi hijau Indonesia ke depan sangat penting. Kebijakan Kementerian Perdagangan harus mampu memfasilitasi kegiatan ekspor sekaligus impor yang mendukung transisi Indonesia menuju ekonomi hijau" jelas Kasan.
Kasan menambahkan, Kementerian Perdagangan berperan untuk memastikan pelaku usaha dan konsumen Indonesia memiliki akses terhadap barang, jasa, serta teknologi ramah lingkungan dengan harga yang kompetitif.
Baca Juga:
Atdag Kairo Saksikan Realisasi Ekspor 39,6 Ton Biji Kopi Robusta Indonesia Hasil MoU TEI 2024
Kementerian Perdagangan juga harus menggulirkan kebijakan perdagangan yang mampu mendorong peningkatan perdagangan produk ramah lingkungan di dalam dan luar negeri. GTT #8 yang mengusung tema "The Role of Trade Policies in Indonesia’s Green Transition" diselenggarakan Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) bekerja sama dengan World Bank.
Diskusi kali ini bertujuan membangun kesadaran sekaligus dukungan kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk proses transisi hijau Indonesia. Kasan mengungkapkan, bagi Indonesia, melakukan transformasi ekonomi sebagai respons terhadap kebijakan terkait target penurunan emisi karbon bukan hal yang mudah dan tidaklah otomatis.
Indonesia memerlukan sumber daya ekonomi yang besar secara kuantitas dan juga sumber daya yang berkualitas, termasuk penguasaan teknologi, ketersediaan finansial, dan SDM.
Dalam kesempatan yang sama, Habib Rab mengungkapkan, kebijakan perdagangan penting bagi transisi hijau Indonesia. “Analisis World Bank menunjukkan, reformasi perdagangan dapat meningkatkan akses Indonesia ke barang dan teknologi ramah lingkungan yang penting. Meningkatnya permintaan global terhadap barang ramah lingkungan juga menawarkan peluang bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi ke industri dan teknologi hijau," urai Habib.
Csilla Lakatos menjelaskan, berdasarkan data perdagangan di tingkat perusahaan, jumlah perusahaan yang terlibat di dalam kegiatan perdagangan barang hijau (green goods) terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama dalam kegiatan impor.
Menurutnya, mereformasi non-tariff measure (NTM) seperti persetujuan impor, kepatuhan terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI), dan persyaratan label dapat meningkatkan perdagangan barang hijau.
Adapun Nugroho Adi Sasongko mengatakan, penilaian daur hidup (life cycle asssesment/LCA) adalah penilaian kuantitatif terkait keberlanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial) sepanjang tahapan produk atau rantai pasok.
Menurutnya, pelaku usaha di Indonesia perlu bergegas melakukan LCA untuk mengurangi jejak karbon. Sementara itu, Fabby Tumiwa berujar, Indonesia dapat kehilangan kesempatan menjadi bagian dari rantai pasok global jika emisi karbon dioksida (CO2 ) tidak berkurang. Hal ini disebabkan intensitas emisi CO2 dapat menghalangi minat investasi dari industri yang berorientasi ekspor. [JP]