KRTNews.id | Wilujengan Nagari Mahesa Lawung merupakan salah satu upacara tradisi adat yang masih dilestarikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Kota Solo. Tahun ini, agenda tersebut berlangsung pada Senin (21/11/2022).
Upacara yang rutin diadakan setiap bulan bakda Mulud pada hari Senin atau Kamis itu diawali dengan doa bersama di Sitihinggil kompleks Keraton Solo. Selanjutnya, para abdi dalem dan kerabat Keraton membawa kepala kerbau berikut jerohannya ke Alas Krendhawahana di Gondangrejo, Karanganya, untuk dikuburkan.
Baca Juga:
Destinasi Hits Terbaru Indonesia, 5.000 Wisatawan Serbu IKN Setiap Hari
Upacara tradisi Mahesa Lawung konon sudah ada sejak era Mataram Hindu lalu berkembang mengikuti zaman hingga berakulturasi dengan budaya Jawa Islam.
Meskipun mengalami beberapa perubahan dari era Mataram Hindu, Upacara Mahesa Lawungan tidak kehilangan nilai-nilai luhurnya.
Ketua komunitas pencinta sejarah Solo Societeit, Dani Saptoni, mengatakan awalnya Mahesa Lawung merupakan upacara persembahan untuk Bathari Durga. Seperti dilansir dari Solopos.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Bathari Durga dalam ajaran Hindu dikisahkan sebagai sosok yang cantik jelita namun mendapatkan kutukan. “Jadi dalam sejarahnya upacara Mahesa Lawungan itu merupakan upacara untuk menghormati dan mendapatkan perlindungan dari Bethari Durga yang dikenal pemberani dan cantik,” ucap Dani.
Tetapi seiring dengan masuknya Islam ke Jawa, Dani melanjutkan ada akulturasi budaya dan adaptasi. Di satu sisi tetap menghormati tradisi turun temurun sekaligus menjadi alat penyebaran agama Islam.
Perubahan dari Pemujaan Jadi Penolak Bala
Syair-syair yang dibaca kemudian diubah menjadi doa-doa dan pujian dengan bahasa Arab. Ada beberapa simbol penting dari upacara Mahesa Lawung, yakni menolak bala atau bahaya dari berbagai penjuru.
Ada juga perubahan versi dari upacara Mahesa Lawung yang digelar Keraton Solo tersebut ketika berakulturasi dengan budaya Jawa Islam. “Jadi yang awalnya pemujaan Bathari Durga berubah menjadi menolak sosok Bathari Durga agar terhindar dari bala atau bencana,” ulasnya.
Salah satu alasan perubahan itu, menurut Dani, karena memang dari ceritanya Bathari Durga dikutuk oleh suaminya yakni Bethara Kala. Sehingga makna upacara Mahesa Lawung berubah menjadi untuk melindungi Keraton dari bahaya baik dari timur (wetan), barat (kulon), utara (lor), dan selatan (kidul).
Arah mata angin ini juga merupakan simbolis dari batas-batas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menjadi pusatnya. “Kalau di wetan ada Gunung Lawu, di kulon ada Gunung Merapi, di kidul ada Pantai Selatan dan lor ada Alas Krendhawahana. Sedangkan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadi pusatnya,” lanjutnya.
Mengenai Alas Krendhawahana yang terletak di Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, lokasi ini dipilih karena banyaknya tulang-tulang purba yang dahulu dipercaya merupakan tulang dari asura atau raksasa yang ditumpas oleh Bathari Durga.
Alasan Pemilihan Lokasi Alas Krendhawahana
“Kalau kenapa di Alas Krendhawahana itu dipilih, karena sekitar situ kan dekat dengan Sangiran yang banyak sekali ditemukan tulang dari manusia purba yang besar-besar. Nah tulang yang besar tersebut dahulu dikira tulang dari raksasa-raksasa yang dihabisi oleh Bathari Durga, karena julukannya memang pembasmi raksasa,” urainya.
Sedangkan alasan penguburan kepala kerbau dalam tradisi Mahesa Lawung Keraton Solo, Dani Saptoni menjelaskan kerbau adalah kendaraan dari Bathari Durga. Meskipun juga memiliki makna filosofis untuk tidak bertingkah sembarangan dan menghindari marabahaya.
“Jerohan juga dikuburkan bersama dengan daging gecokan atau bahan-bahan mentah sebagai simbolis seserahan untuk Bathari Durga. Meskipun memang punya makna filosofis untuk mengingatkan manusia agar bertindak dengan baik dan menjauhkan diri dari bahaya,” ucap Dani.
Berdasarkan catatan Solopos.com, Keraton Solo memaknai tradisi Mahesa Lawung yang intinya mengubur kepala kerbau karena kerbau sering dijadikan perlambang kebodohan. Dengan mengubur kepala kerbau, Keraton ingin mengingatkan bahwa orang Jawa harus bisa memendam kebodohannya.(jef)