Tambangnews.id | Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat bahwa sebagian besar tambang batu bara milik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) sudah pada kondisi yang tua dan marjinal.
Seperti yang diketahui, PKP2B merupakan perusahaan-perusahaan batu bara raksasa yang ada di Indonesia. Diantaranya misalnya PT Kaltim Prima Coal (KPC) anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Baca Juga:
Belum Lengkap, Berkas Perkara Ismail Bolong Dikembalikan ke Bareskrim
Perusahaan tambang batu bara ini ditargetkan memiliki produksi batu bara 60 - 62 juta ton pada tahun ini.
Kemudian, PT Multi Harapan Utama yang memiliki produksi batu bara 9,84 juta ton dengan luas lahan sebesar 39.972 hektare (ha). PT Adaro Indonesia milik Garibaldi Thohir atau Boy Thohir memiliki produksi hingga 51 juta ton berdiri di luas lahan 31.380 ha.
Selain itu, PT Kideco Jaya Agung, perusahaan batubara yang sahamnya dimiliki oleh PT Indika Energy Tbk ini memiliki produksi sebanyak 34,5 juta ton dengan luas lahan 47.500 ha. Dan PT Berau Coal yang memiliki produksi 32,5 juta ton dengan luas lahan 108.009 ha.
Baca Juga:
Bareskrim Periksa Ismail Bolong, Kuasa Hukum: Soal Izin Tambang Batu Bara
"Produksi batu bara sebagian dari PKP2B yang kondisi tambangnya sudah marjinal dan semakin tua usia tambangnya," terang Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia, Jumat (11/2/2022).
Dengan semakin tua dan marjinalnya wilayah batu bara milik PKP2B itu, kata Hendra, maka ongkos dan biaya produksi serta yang lainnya semakin meningkat, karena disposible area produksi baru bara semakin meningkat.
"Sementara pemerintah karena mematuhi UU Minerba, akan mendapatkan bagian yang lebih besar apabila kontrak PKP2B itu diperpanjang menjadi IUPK," ungkap Hendra.
Selain dari bagian yang lebih besar dari perubahan kontrak, kabarnya pemerintah juga akan menaikan tarif royalti. Hendra Sinadia membenarkan bahwa saat ini pemerintah sedang membahas mengenai perubahan royalti untuk perusahaan pertambangan batu bara.
"Pemerintah sedang menggodok bahwa tarif royalti IUP pun akan dinaikan yang saat ini 3, 5 7%. Dan tadi saya katakan IUPK akan dinaikan dalam waktu dekat yang saat ini 13,5%, jadi luar biasa tingginya royalti kita," ungkap Hendra.
Sebelumnya memang, berdasarkan dokumen yang diterima, tercatat bahwa pemerintah mengusulkan agar tarif royalti ekspor batu bara dan domestik dikenakan secara progresif.
Hal ini untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor batu bara saat harga sedang mengalami kenaikan.
Tarif royalti progresif itu berdasarkan tingkat harga batu bara. Misalnya, harga batu bara mencapai US$ 70 per ton ke bawah, maka royalti yang akan dikenakan mencapai 14%.
Jika harga batu bara US$ 70 - US$ 80, royalti mencapai 16%. Kemudian harga batu bara US$ 80 - US$ 90 per ton royaltinya 19%, dan harga batu bara US$ 90 - US$ 100 royaltinya mencapai 22%. Adapun jika harga batu bara di atas US$ 100 maka royalti yang dikenakan mencapai 24%.
Seperti yang diketahui, saat ini penerapan royalti batu bara dikenakan secara patokan. Berapapun harga batu bara acuan royalti hanya dikenakan 13,5% - 14%.
Hendra berharap pelaku usaha tetap dilibatkan mengenai pembahasan perubahan royalti ini.
"Kita memang setuju tarif royalti khususnya IUPK (perusahaan tambang atas perubahan kontrak) dinaikan. Namun besarannya ini yang akan kita diskusikan dengan pemerintah, cari formula yang tepat sehingga negara tidak dirugikan dan pengusaha tidak dirugikan," ungkap Hendra. [jat]