Selain itu, Tutum juga menilai aturan penjualan produk tembakau yang tercantum di RPP Kesehatan akan mengganggu keberlangsungan usaha dan aturan yang sebelumnya sudah berlaku.
"(Penjualan) kalau diganggu pasti akan berdampak terhadap timbulnya kesempatan lain. Saya kira nanti (akan) timbul (penjualan produk tembakau) di pasar gelap dan membludak sehingga pemerintah nanti akan sulit untuk mengontrol peredarannya," ungkapnya.
Baca Juga:
Kopi Bisa Bantu Panjang Umur Jika Dikonsumsi di Waktu Tepat
Dengan demikian, aturan zonasi 200 meter untuk penjualan produk tembakau belum tentu dapat dikontrol dampaknya di lapangan dan akan menimbulkan ketidakpastian usaha. Untuk itu, ia mengatakan bahwa jangan sampai ada aturan baru bagi produk tembakau yang mengganggu penjualan peritel.
"Selama barang yang dijual (adalah produk) legal, maka sebaiknya diatur saja, tetapi jangan sampai ganggu proses penjualannya di lapangan. Sekali lagi, implementasi (dari aturan tembakau di RPP Kesehatan) itu akan berpotensi menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian," tuturnya.
Tutum menjelaskan dari sisi peritel, alasan penolakan itu juga didorong oleh rasa kekhawatiran jika terjadi penindakan petugas yang berpotensi merazia penjualan produk tembakau nantinya. Hal itu juga berpotensi mengganggu kehidupan peritel, sementara produk tembakau merupakan komoditas yang menyumbang penerimaan bagi negara dengan angka yang signifikan.
Baca Juga:
Buat Minuman Elektrolit Sendiri, Lebih Sehat dari Kemasan Gula Berlebihan
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tercatat sebesar Rp213,48 triliun pada periode 2023. Dengan besaran angka penerimaan CHT tersebut, aturan tembakau di RPP Kesehatan menjadi sangat kontradiksi dengan pemanfaatan cukai yang berkontribusi besar terhadap penerimaan negara.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir]