Apalagi tambang-tambang swasta di Muara Enim beroperasi secara legal, memiliki IUP, membayar pajak, dan tunduk pada aturan. Jika negara ingin menertibkan, maka negara juga wajib menyediakan solusi. Jika pemerintah menutup satu pintu, maka pintu lain harus dibuka.
Butuh Kebijakan Transisi, Bukan Palu Godam
Baca Juga:
Jalan Khusus Batubara: Momentum Emas Investasi dan Transformasi Ekonomi Muara Enim
Yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan transisi yang adil dan realistis. Misalnya: Skema operasional terbatas dengan pengawasan ketat, Jalur waktu (grace period) yang jelas hingga jalan khusus benar-benar siap, Keterlibatan pemerintah pusat dalam percepatan infrastruktur hauling, Kepastian hukum bagi IUP yang sudah berhenti berbulan-bulan tanpa kesalahan fatal. Jangan sampai pemerintah daerah dan pusat terjebak pada logika hitam-putih: boleh atau tidak boleh. Dalam praktiknya, kebijakan publik harus melihat dampak sosial, ekonomi, dan stabilitas daerah.
Muara Enim bukan hanya wilayah tambang. Ia adalah rumah bagi ratusan ribu orang yang hidup berdampingan dengan industri ini. Ketika tambang dihentikan tanpa solusi, maka yang terhenti bukan hanya alat berat, tetapi harapan.
Negara Harus Hadir dengan Akal Sehat.
Baca Juga:
Jelang Sumpah Pemuda, Komut PLN EPI Kunjungi PLTU Timor-1, Semangati Para Pekerja dan Pastikan Pasokan Batubara Aman
Tambang memang harus diatur. Lingkungan harus dijaga. Jalan umum harus aman. Namun keadilan kebijakan menuntut keseimbangan antara penertiban dan keberlanjutan ekonomi. Jika 1 Januari 2026 menjadi titik matinya tambang swasta di Muara Enim tanpa jalan keluar, maka sejarah akan mencatatnya bukan sebagai keberhasilan penegakan aturan, melainkan kegagalan negara dalam mengelola transisi. Pemerintah daerah dan pusat masih punya waktu. Bukan untuk berdebat, tapi untuk bertindak. Karena industri yang memberi dampak positif tidak boleh mati hanya karena jalan belum jadi.
(Redaktur: Hendrik Isnaini R)