MAWAKA ID | Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%, ditolak Ekonom Senior Faisal Basri.
Menurutnya, hal ini jelas akan memberatkan masyarakat.
Baca Juga:
Dari Pajak Digital, Negara Kantongi Rp 6,14 Triliun Hingga September 2024
"Penduduk Indonesia yang insecure, ada 52,8%. Malaysia 2,6%. Mereka kena efeknya PPN," ungkapnya saat wawancara dengan CNN TV, Jumat (25/3/2022)
Kelompok insecure menurut Faisal adalah masyarakat miskin hingga yang rentan miskin. Sekalipun ada beberapa barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN.
Barang yang tidak dikenai PPN, di antaranya makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak.
Baca Juga:
Perjuangan Tekan Harga Tiket Pesawat Diungkap Menhub Budi Karya
Hal tersebut di atas termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Barang lain yang juga bebas dari PPN 11% yakni uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Akan tetapi kelompok ini masih mengkonsumsi kebutuhan dasar lainnya yang dikenakan PPN.
"Mereka beli buku anaknya, beli pulpen, tas, seragam anak, kena PPN. Beli mie instan kena PPN," ujar Faisal.
Faisal mengakui, aturan ini sudah diputuskan dalam Undang-undang (UU) sebagai kesepakatan antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat (DPR). Pemerintah sebaiknya memikirkan langkah mitigasi untuk membantu kelompok masyarakat tersebut.
"Jadi memang cenderung memaksakan dan menyayat hati," imbuhnya. [tum]