MAWAKA ID | Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengklaim, hasil pengecekan yang dilakukan di tingkat produsen diketahui produksi minyak goreng yang berjalan saat ini seharusnya dapat mencukupi kebutuhan domestik.
Kemendag hingga kini masih belum mengetahui penyebab pasti kelangkaan minyak goreng, meski sudah berlangsung selama berbulan-bulan.
Baca Juga:
Pemerintah Kabupaten Sigi Catat Penurunan Harga Kebutuhan Pangan Selama Libur Lebaran 2025
Inspektur Jenderal Kemendag, Didid Noordiatmoko mengatakan, saat ini produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan, sehingga kelangkaan terhadap produk tersebut seharusnya bisa teratasi paling lambat akhir Maret 2022.
Pemerintah secara bertahap menyelesaikan persoalan produksi hingga distribusi minyak goreng, sehingga komoditas itu dapat diperoleh dengan mudah dengan harga yang terjangkau di masyarakat.
Akan tetapi, menurut dia, muncul persoalan baru yang merupakan dampak dari kenaikan harga dan kelangkaan barang, yakni panic buying.
Baca Juga:
Hari Konsumen Nasional Diperingati Setiap 20 April Setiap Tahunnya
Lantaran sempat kesulitan mendapatkan minyak goreng dengan harga yang terjangkau, hal itu membuat masyarakat membeli melebih kebutuhan ketika mendapatkan kesempatan.
Padahal, Didid berujar, hasil riset menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan. Artinya, kini banyak rumah tangga menyetok minyak goreng di dapur.
“Tapi ini baru terindikasi,” katanya, saat kunjungan kerja ke Palembang, seperti dikutip dari Antara, Minggu (6/3).
Ia mencontohkan, seperti produsen minyak goreng di Sumatera Selatan, saat ini sudah memproduksi 300 ton per bulan, atau sudah mendekati kebutuhan daerah itu. Jika pun terdapat selisih, diperkirakan hanya 10 persen.
Adapun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat bahwa harga minyak goreng di Indonesia tidak berbanding lurus mengikuti harga minyak sawit mentah atau CPO internasional.
Deputi Kajian dan Advokasi KPPU, Taufik mengungkapkan, harga CPO internasional fluktuatif tergantung dengan pasokan dan permintaan, sementara harga minyak goreng nasional cenderung dalam tren naik dalam jangka waktu yang panjang tanpa ada penurunan.
"Hasil temuan kami terjadi rigiditas pasar minyak goreng terhadap harga CPO. Fluktuasi harga CPO di pasar internasional mengikuti pasokan dan permintaan di pasar internasional, tapi harga minyak goreng di pasar domestik relatif stabil dan cenderung naik jadi sangat berbeda pergerakannya," paparnya.
Bahkan, Taufik menyebut, pada beberapa waktu terjadi penurunan cukup dalam terhadap harga CPO internasional, sementara harga minyak goreng di dalam negeri tetap dalam tren naik.
Oligopoli
Ia menjelaskan, hal tersebut terjadi lantaran pasar minyak goreng di Indonesia terkonsentrasi, atau terjadi oligopoli, yaitu hanya segelintir perusahaan yang menguasai pasar, sehingga harga ditentukan oleh produsen yang dominan tersebut.
"Berdasarkan data yang kami miliki, memang struktur pasarnya terkonsentrasi, istilahnya oligopoli. Jadi ini menjadi concern bagi KPPU, dan ini akan berdampak pada pembentukan harga di pasar," terangnya.
Terjadinya rigiditas harga minyak goreng terhadap harga CPO yang fluktuatif juga merupakan satu ciri oligopoli.
Selain itu, Taufik mengemukakan, adanya akuisisi atau pengambilalihan aset perusahaan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan besar terhadap perusahaan sawit kecil.
Pengambilalihan aset tersebut bisa berupa lahan perkebunan ataupun berupa saham. Ia menuturkan, praktik pengambilalihan aset tersebut makin memperkuat pasar oligopoli pada pasar kelapa sawit dan minyak goreng di Indonesia.
Taufik mengungkapkan, volume ekspor CPO tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam satu tahun terakhir, yakni hanya naik 0,6 persen. Namun, nilai ekspor meningkat hingga 52 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, karena terjadi kenaikan harga CPO internasional.
KPPU juga mencatat dari total 18,42 juta ton CPO yang dikonversi menjadi minyak goreng menjadi 5,7 juta kiloliter untuk kebutuhan dalam negeri, penggunaan paling banyak adalah untuk minyak goreng curah sebesar 2,4 juta kiloliter.
"Catatan kami yang kebutuhan paling besar adalah untuk minyak goreng curah, kelompok rumah tangga, di mana mencapai 2,4 juta kiloliter," bebernya.
Selanjutnya, penggunaan minyak goreng digunakan untuk industri sebesar 1,8 juta kiloliter, penggunaan minyak goreng premium atau yang ada di pasar modern 1,2 juta kiloliter, dan kemasan sederhana sebesar 231.000 kiloliter. [tum]