MAWAKA ID | Indonesia bisa dikatakan ketiban "durian runtuh" selama 2021.
Bagaimana tidak, sejumlah harga komoditas dan energi membubung sepanjang 2021, termasuk sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Baca Juga:
Kementerian ESDM Buka Suara, Soal Tudingan AS Ada Kerja Paksa di Industri Nikel RI
Buktinya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) pada 2021 mencapai Rp 75,16 triliun. Jumlah ini mencapai 192% dari target sebesar Rp 39,1 triliun.
Bahkan, bila dibandingkan 2020, PNBP pertambangan minerba pada 2021 ini melonjak 117%. Pada 2020, realisasi PNBP sektor minerba tercatat "hanya" sebesar Rp 34,6 triliun.
Selain karena lonjakan harga komoditas, apakah "durian runtuh" sektor pertambangan minerba RI ini juga disebabkan oleh melonjaknya impor batu bara dan juga logam nikel dan komoditas lainnya dari China?
Baca Juga:
Balai Kemenperin di Makassar Dukung Pemerataan Ekonomi Wilayah Timur
Seperti diketahui, China sempat mengalami krisis batu bara pada kuartal III-IV 2021 lalu, dan China merupakan negara dengan tujuan ekspor batu bara utama RI selama ini.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2020 misalnya, Indonesia mengekspor sekitar 127,79 juta ton batu bara ke China.
Jumlah ekspor batu bara ke China ini tercatat mencapai 31,5% dari total ekspor batu bara RI sebesar 405,05 juta ton.
Dari sisi logam mineral, mengutip Reuters, Jumat (04/02/2022), impor logam mineral China, mulai dari nikel, aluminium, maupun tembaga "meledak" pada 2021.
Impor logam nikel misalnya, disebutkan melonjak dua kali lipat pada 2021 dibandingkan 2020.
Berikut ulasan impor masing-masing komoditas logam China pada 2021, dikutip dari Reuters:
- Aluminium
Impor bersih China untuk aluminium primer yang tidak ditempa mencapai 1,57 juta ton dan untuk aluminium alloy yang tidak ditempa 1,00 juta ton pada 2021.
Volume impor ini naik 24% dibandingkan 2020 dan melampaui 1,43 juta ton yang diimpor pada tahun 2009, satu-satunya preseden historis bagi produsen terbesar dunia yang membutuhkan lebih banyak aluminium dalam jumlah tersebut.
Namun, itu adalah satu-satunya krisis keuangan global. Tingginya impor selama dua tahun berturut-turut menunjukkan tekanan pasokan struktural di pasar domestik yang disebabkan oleh pembatasan produksi terkait listrik.
Logam India menyumbang 54%, atau 855.000 ton, dari impor utama tahun lalu. Malaysia adalah pemasok aluminium alloy terbesar, mengirimkan 321.000 ton. Negara ini telah menjadi pusat daur ulang dan pemrosesan utama, pergeseran arus "sampah" global yang telah menghasilkan perubahan langkah dalam impor alloy China.
- Tembaga
Ketergantungan impor China telah menentukan pasar tembaga abad ini dan tahun lalu tidak terkecuali.
Impor tembaga olahan turun 25% menjadi 3,3 juta ton dibandingkan tahun 2020, tetapi tahun sebelumnya telah memecahkan rekor. Penghitungan tahun lalu sebenarnya naik sedikit pada 2019.
Penurunan impor logam rafinasi juga harus dilihat dalam konteks impor "scrap".
Ini merosot dari lebih dari tiga juta ton pada 2017 menjadi hanya 944.000 ton pada 2020 karena China memperketat aturan kemurnian. Perubahan kebijakan menit terakhir telah membuka kembali pintu ke bahan daur ulang bermutu tinggi dan impor melonjak 80% menjadi 1,7 juta ton pada tahun 2021.
Sama seperti kekurangan tembaga sekunder, berarti lebih banyak selera untuk logam olahan pada tahun 2020, gelombang impor daur ulang tahun lalu akan mengurangi permintaan itu.
- Nikel
Impor nikel olahan China naik dua kali lipat menjadi 261.000 ton dengan percepatan yang nyata selama paruh kedua tahun lalu.
Ketatnya rantai pasokan nikel untuk bahan baku baterai mendorong lonjakan impor yang disebut logam Kelas I.
Penguatan permintaan dari sektor kendaraan listrik juga terlihat dari impor nikel sulfat yang tumbuh pesat, bahan kimia prekursor untuk pembuatan baterai. Volume menjamur dari 5.600 ton pada tahun 2020 menjadi 44.700 pada tahun 2021.
China juga mengimpor lebih banyak bijih, matte, produk antara, dan lebih banyak feronikel tahun lalu, yang membuktikan keinginannya yang besar untuk nikel di setiap tahap rantai proses.
Seperti diketahui, Indonesia memproduksi dan mengekspor sebagian besar logam nikel seperti feronikel, Nickel Pig Iron (NPI), nickel matte, dan pada 2021 telah mulai memproduksi dan juga mengekspor bahan baku komponen baterai yakni Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2021, Indonesia tercatat memproduksi feronikel sebesar 1,58 juta ton, NPI 799,6 ribu ton, nickel matte 82,3 ribu ton, dan MHP sebesar 365 ribu ton per tahun. [tum]