Martabat.WahanaNews.co | Tiga dugaan maladministrasi dalam proses penunjukan penjabat (pj) kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ditemukan Ombudsman RI.
Temuan Ombudsman ini merupakan tindak lanjut dari laporan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, yaitu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perludem.
Baca Juga:
Fraksi Hanura Soroti Temuan Aset yang Hilang dan Perilaku ASN di Tapanuli Utara
"Atas semua temuan dan pendapat yang dirangkum tadi, Ombudsman menyampaikan tiga maladministrasi," ujar anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (19/7).
Robert memaparkan, dugaan maladministrasi pertama yaitu, Kemendagri menunda memberikan tanggapan informasi dan keberatan dari masyarakat.
Menurutnya, sampai saat ini belum ada tanggapan dari Kemendagri terhadap pelapor. Karena itu, ia mengatakan Kemendagri melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Baca Juga:
Tingkatkan Kualitas Pelayanan Publik, Kemnaker dan Ombudsman Jalin Kerja Sama
"Jadi, tidak ditanggapinya permintaan informasi maupun substansi keberatan dari para pelapor, menurut pandangan Ombudsman bertentangan dengan UU Pelayanan Publik," jelasnya.
Dugaan maladministrasi kedua yaitu penyimpangan prosedur dalam pengangkatan pj kepala daerah. Salah satu contohnya, yaitu pengangkatan penjabat yang merupakan prajurit TNI aktif.
Robert mengatakan berdasarkan UU Aparatur Sipil Negara (ASN), ada ketentuan jabatan sipil yang bisa diemban anggota TNI aktif.
Sementara penunjukan TNI atau Polri untuk menjabat di luar posisi tersebut harus mengacu pada aturan lengkap esensi UU TNI dan UU ASN.
"Apakah yang dilihat hanya dia berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya, tidak melihat unsur kedinasannya?" kata Robert.
Robert mengatakan Kemendagri harus mengajukan surat permohonan ke instansi masing-masing ketika menunjuk penjabat kepala daerah dari anggota Polri aktif dan TNI aktif.
Hal ini diatur dalam Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Robert mengungkapkan, berdasarkan pemeriksaan, TNI tidak pernah mengusulkan calon pj kepala daerah. Selain itu, TNI juga mengaku tidak dilibatkan dalam proses pengangkatan pj kepala daerah.
"Biasanya, kalau ada penugasan prajurit aktif, maka pihak TNI itu dimintakan dan kemudian akan berkoordinasi," ucapnya.
Dugaan maladminstrasi ketiga yaitu Kemendagri mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menginstruksikan Kemendagri membuat aturan khusus dalam pengangkatan pj kepala daerah.
Mahkamah menyatakan bahwa penunjukan pj kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis dengan menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Ini ada pengabaian kewajiban hukum terhadap melaksanakan putusan tersebut," katanya.
Ombudsman pun meminta Kemendagri menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan dari pelapor. Kemudian, Kemendagri memperbaiki proses pengangkatan pj kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif.
Selain itu, Ombudsman meminta Kemendagri menyiapkan naskah usulan pembentukan PP terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian pj kepala daerah.
Laporan dan rekomendasi ini telah disampaikan ke Kemendagri. Ombudsman memberikan waktu selama 30 hari bagi Kemendagri untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut. [tum]