Jurnalmaritim.id | Sejak akhir Januari lalu, terhitung dua kelompok kapal induk AS yang telah memasuki Laut China Selatan yang disengketakan.
Datangnya kapal induk itu berkaitan dengan pelatihan pasukan, Departemen Pertahanan AS mengatakan bahwa Taiwan telah melaporkan serangan udara China di atas jalur air.
Baca Juga:
Inovasi Crowdsourcing Maritim di Tengah Konflik Natuna
Sebagai informasi, Laut Cina Selatan dan Taiwan yang memiliki kedaulatannya sendiri adalah dua masalah teritorial paling sensitif di China, dan keduanya menjadi “ruang konflik” antara AS dan China.
Kapal-kapal Angkatan Laut AS secara rutin berlayar di sana untuk memberikan ancaman ke China, dan upaya ini membuat Beijing marah.
“Dua kapal induk andalan AS, USS Carl Vinson dan USS Abraham Lincoln telah melakukan operasi di Laut Cina Selatan sejak Januari lalu,” kata Departemen Pertahanan AS kepada Reuters.
Baca Juga:
Peran Penting Indonesia dalam Menangani Konflik Laut China Selatan (LCS)
Di dalam agenda pelatihan itu, terdapat juga operasi perang anti-kapal selam, operasi perang udara dan operasi larangan maritim untuk memperkuat kesiapan tempur.
“Pelatihan akan dilakukan sesuai dengan hukum internasional di perairan internasional”, tambah Departemen Pertahanan AS.
Mengutip Reuters, dua kapal induk itu dilaporkan berlatih bersama dengan Angkatan Laut Jepang di Laut Filipina, sebuah wilayah di sebelah timur Taiwan.
AS beli galangan kapal Subic Bay di Filipina
Sebuah perusahaan swasta di AS yaitu Cerberus Capital Management telah menyelesaikan pembelian Subic Bay.
Sebuah galangan kapal strategis yang sebelumnya pernah digunakan Angkatan Laut AS di Filipina, Zona Jakarta mengutip Defence Security Asia.
Pembelian galangan kapal Subic Bay ini adalah bentuk kekhawatiran AS, karena China juga memiliki niat untuk memilikinya.
Jika itu terjadi, China dan pasukannya akan memiliki akses ke Laut Cina Selatan, yang memang merupakan impian mereka sejak lama.
Sebuah perusahaan di China disebut-sebut mengincar pembelian Subic Bay karena lokasi nya yang berdekatan dengan Laut China Selatan.
Perusahaan Cerberus Capital Management membayar USD 300 juta untuk mengakuisisi galangan kapal bersejarah ini, lapor Defence Security Asia.
“Merupakan hal yang luar biasa untuk melihat pembelian seperti ini. Ini adalah contoh kemitraan publik-swasta antara ASdan Filipina”, kata Ely Ratner, Wakil Menteri Pertahanan AS untuk Urusan Keamanan Indo-Pasifik.
Pembelian, Subic Bay tentu akan menguntungkan kedua belah pihak, menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, meningkatkan ekonomi terlebih memperkuat hubungan Strategis AS dan Filipina, Zona Jakarta mengutip Defence Security Asia.
“Bekerja dengan AS dalam proyek ini akan memastikan kami dapat melindungi kepentingan bukan hanya untuk tapi, tetapi juga untuk seluruh kawasan”, kata duta besar Filipina.
Galangan kapal Subic Bay dulu
AS menduduki Filipina pada tahun 1898 setelah mengalahkan Spanyol dalam Perang Spanyol-Amerika.
Pangkalan Angkatan Laut Subic Bay dan Pangkalan Angkatan Udara Clark di dekatnya menjadi pusat strategis utama bagi AS melalui akhir operasi tempur dalam Perang Vietnam pada tahun 1973.
Karena gelombang oposisi Filipina yang terus meningkat merespon kehadiran militer AS ditambah dengan letusan dahsyat Gunung Pinatubo pada tahun 1991 yang menghancurkan pangkalan udara Clark.
Hal itulah yang membuat AS meninggalkan kedua pangkalan pada akhir tahun 1992, Zona Jakarta mengutip Stripes.
Kedua negara bagaimanapun telah melanjutkan latihan bilateral dalam beberapa dekade sejak kejadian itu.
Dan hubungan militer kedua negara semakin penting dalam beberapa tahun terakhir karena bentrok antara Filipina dengan China atas klaim kedaulatan yang bersaing di bagian-bagian Laut China Selatan. [jat]