Jurnalmaritim.id | KITA kini berada di tahun 2022. Tahun 2021 baru saja kita lepas kepergiannya dengan segala suka-cita kendati tidak sepenuhnya bisa dirayakan semarak. Namun, tidak perlu juga pergantian tahun dirayakan berlebihan. Secukupnya saja.
Hal itu karena wabah Covid-19 masih mengintai kita semua. Yang penting ada dalam setiap pergantian tahun adalah semangat baru untuk menghadapi perjalanan kehidupan setahun ke depan. Demikian kira-kira kata-kata bijak orang modern.
Baca Juga:
BMKG Sultra: Waspadai Cuaca Ekstrem Hingga 4 Januari 2023
Semangat yang dibulatkan untuk menjalani tahun baru lazim disebut resolusi. Nah, apa yang bisa dijadikan resolusi untuk dunia kemaritiman nasional dalam 2022?
Tulisan ini mencoba menawarkan satu di antaranya, yaitu mewujudkan keberadaan duta besar khusus maritim. Gagasan ini sudah beberapa kali saya lontarkan, baik melalui tulisan maupun dalam forum diskusi.
Yang terakhir saya sampaikan di hadapan diplomat kita yang mengundang saya memberikan masukan (review) untuk penelitian kemaritiman yang mereka buat. Itu diadakan pada minggu kedua Desember 2021.
Baca Juga:
Cetak ESDM yang Handal, IMPM Lampung Gelar Empowerment Program Training
Poros maritim dunia
Gagasan dubes maritim sejatinya sederhana. Gagasan itu dimotivasi oleh sesanti “diplomacy begins at home”. Artinya, diplomasi atau kebijakan luar negeri sebuah negara berawal dari dalam negeri sendiri.
Sederhananya, jika keinginan internal sebuah negara ingin menjadi atau mendapatkan sesuatu, maka kebijakan luar negeri/diplomasinya harus diarahkan untuk mencapai apa yang diinginkan itu.
Dalam hal Indonesia, keinginan di dalam negeri (baca: visi Presiden Joko Widodo) hendak menjadi poros maritim dunia. Tentu diplomasi kita di luar negeri, melalui perwakilan di yang ada di seantero dunia, harus bisa mewujudkannya dengan berbagai cara.
Dalam diskusi akhir tahun dengan teman-teman diplomat seperti yang disinggung di muka, saya menangkap kesan mereka gamang – bila tidak hendak disebut tidak tahu – seputar visi dimaksud. Apalagi cara mewujudkannya. Dan, penelitian yang mereka mintakan review-nya itu merupakan upaya untuk menutup celah yang ada.
Obyek penelitiannya kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas yang ada di Tanah Air seperti Sabang, Batam, Bintan, dan Karimun. Diharapkan dengan penelitian yang dilakukan tadi para diplomat di luar negeri bisa membantu upaya mempercepat perkembangan kawasan tersebut melalui kerja-kerja diplomasi.
Sesungguhnya ada banyak isu atau program kemaritiman di dalam negeri yang perlu sentuhan diplomat kita agar mereka bergaung juga di luar negeri. Sehingga, tingkat keberhasilannya bisa jadi akan lebih besar karena mendapat respon positif dari kalangan internasional.
Agar dorongan yang diberikan oleh para insan diplomasi Indonesia itu makin cespleng dan terarah maka perlu dibuatkan satu posisi formal untuk mengorkestrasi semuanya. Posisinya haruslah duta besar seperti duta besar yang lazim kita miliki. Dia memiliki misi khusus untuk memperjuangkan segala hal yang terkait maritim.
Ditempatkan di IMO
Tentu saja tempat yang cocok untuk sang dubes (maritim) itu adalah di Organisasi Maritim Internasional atau IMO. Saat ini, dubes Indonesia di London merupakan permanent representative untuk lembaga yang merupakan unit PBB itu. D
alam pelaksanaannya, yang menghadiri sebagian besar sidang IMO adalah atase perhubungan (athub) dengan posisi sebagai alternate representative. Atase hanyalah pejabat dengan kewenangan yang amat terbatas. Padahal, dia harus menghadiri sidang-sidang IMO yang berlangsung 36-40 minggu setiap tahunnya.
Sebagai perbandingan, RI menempatkan Duta Besar di UNESCO.
Beberapa negara anggota IMO lainnya pun mempunyai perwakilan setingkat duta besar. Sebagai pembanding, Malaysia yang baru pertama kali terpilih sebagai anggota IMO pada tahun 2005 menempatkan personel dengan kualifikasi kelas satu yang pada derajat tertentu setara dengan posisi dubes.
Negeri jiran ini pernah tercatat menempatkan mantan/pensiunan Direktur Jenderal Marine Department (setingkat Direktur Jenderal Perhubungan Laut). Sehingga, dengan pengalamannya tadi perwakilan Malaysia di IMO dapat berperan aktif dalam pembahasan setiap isu.
Posisi diplomasi maritim RI yang hanya berstatus atase tadi diperparah dengan pemilihan seorang pegawai Kemenhub menjadi athub. Athub seringkali berupa hadiah "hiburan" bagi pejabat-pejabat yang tidak berhasil memperoleh posisi di eselon II di kantor pusat. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik, bahkan terbukti dengan bahasa Inggris yang terbilang rendah.
Oleh karena itu, kerap muncul kesenjangan dalam berkomunikasi dengan mitra. Misalnya, salah menyampaikan statement tentang posisi Indonesia, dan bahkan banyak juga yang malah tidak berani berbicara.
Dubes maritim diperlukan untuk menarik sebanyak mungkin pemain internasional masuk ke dalam bisnis maritim di dalam negeri. Yang terbaru adalah bisnis pelabuhan yang akan semakin berkilau dengan mergernya empat operator pelabuhan pelat merah ke dalam satu entitas tunggal.
Pemain internasional itu bisa terdiri atas shipbrokers, charterers, marine insurers, maritime law, dan sebagainya. Dengan jaringan yang dimiliki oleh diplomat kita saat ini rasanya tidak mustahil target ini dapat dicapai.
Bila gagasan dubes maritim dapat diwujudkan, lantas siapa yang layak ditunjuk untuk posisi dimaksud? Idealnya, mereka-mereka yang saat ini sudah berkarir sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri bisa mengisinya. Mereka sudah terbiasa dengan diplomasi. Dan, yang paling penting, mereka sudah memiliki akses yang telah teruji ke dalam komunitas internasional.
Bisa juga, pejabat lain, khususnya dari Kementerian Perhubungan, namun perlu upgrading besar-besaran sebelum mereka ditempatkan. Entahlah. [jat]