Jurnalmaritim.id | Gelombang penularan kasus Covid-19 yang kembali meningkat di dunia akibat mutasi virus corona varian delta membuat para pelaut terkatung-katung di laut. Mereka menunggu selama berminggu-minggu untuk melakukan bongkar muat muatan.
Melansir dari Reuters, Selasa (20/07/2021), Kapten Tejinder Singh menyampaikan puluhan ribu pelaut seperti dirinya menderita akibat Covid-19 varian delta. Dia bercerita menyaksikan kru menangis dan belum bisa menginjakkan kaki di darat selama tujuh bulan.
Baca Juga:
Buruh Bongkar Muat Diduga Tertimpa Semen, 1 Meninggal dan 3 Luka-luka
Dia bersama dengan sebagian besar kru telah melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan. Dari India ke Amerika Serikat (AS) kemudian ke China.
Menurut International Chamber of Shipping (ICS), Kapten Singh merupakan bagian dari 100.000 pelaut yang terdampar di laut di luar tugas reguler mereka biasanya 3 bulan hingga 9 bulan.
Penularan virus corona varian delta ini berdampak masif di Asia, rumah bagi lebih dari 1,7 juta pelaut komersial dunia. Dalam beberapa kasus banyak negara yang memutus akses darat. ICS memperkirakan baru 2,5% pelaut yang sudah divaksin.
Baca Juga:
Nelayan Asal Banten Terdampar di Perairan Tasikmalaya Karena Kehabisan Solar
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan situasi ini sebagai krisis kemanusiaan di laut. PBB meminta agar pemerintah mengklasifikasikan pelaut sebagai pekerja penting, mengingat kapal mengangkut sekitar 90% dari perdagangan dunia.
Krisis yang semakin dalam akan menjadi ancaman pada rantai pasok yang diandalkan dalam segala hal, mulai dari komoditas minyak, besi, makanan sampai dengan elektronik.
Lebih lanjut Singh mengatakan berada di laut terlalu lama bukanlah perkara mudah. Bahkan dia mengaku mendapatkan laporan jika ada pelaut yang bunuh diri.
"Berada di laut untuk waktu yang sangat lama itu sulit," katanya.
Di kondisi saat ini, hampir 9% pelaut sektor perdagangan telah terjebak di kapal mereka di luar masa kontrak, meningkat daripada bulan Mei yang mencapai 7%. Lama kontrak maksimum yang diperbolehkan adalah 11 bulan, sebagaimana ditetapkan oleh konvensi pelayaran PBB.
Saat kondisi normal, rata-rata sekitar 50.000 pelaut/bulan bergiliran bertugas. Tetapi jumlahnya sekarang hanya sebagian kecil dari itu, sebagaimana disampaikan oleh para pelaku industri. Walaupun angkanya belum pasti.
Krisis kru baru berasal dari pembatasan yang diberlakukan oleh negara-negara maritim utama di Asia termasuk Korea Selatan, Taiwan dan China, yang merupakan rumah bagi banyak pelabuhan peti kemas tersibuk di dunia.
Kepala Eksekutif Synergy Marine Group Rajesh Unni menyebut Asia benar-benar sedang berjuang. Satu-satunya negara yang dapat dikunjungi untuk melakukan pergantian awak rutin sampai batas tertentu adalah Jepang dan Singapura.
"Masalahnya adalah bahwa kita memiliki satu kelompok orang yang sangat ingin pulang karena mereka telah menyelesaikan masa kerja mereka, dan satu kelompok orang di darat yang sangat ingin kembali ke kapal untuk mencari nafkah," kata Rajesh. [jat]