Jurnalmaritim | Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan denda pada Kapal Motor (KM) nelayan yang melanggar ketentuan wilayah penangkapan ikan sebesar Rp 772,12 juta. Kapal tersebut ditangkap 1 April 2022 dan langsung membayar denda tersebut pada 2 April 2022 dini hari.
Denda kapal nelayan tersebut dibahas saat rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Selasa (5/4). Anggota Komisi IV Saadiah Uluputty mempertanyakan penerapan denda pada nelayan dengan nominal besar yang viral di media sosial.
Baca Juga:
Serangan Brutal KKB di Papua: Satu Polisi Tewas, Warga Terluka
Menaggapi hal itu, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Adin Nurawaluddin mengatakan, kapal dengan ukuran di bawah 30 gross ton (GT) dapat menangkap ikan di bawah 12 mil dari tepi pantai, sedangkan kapal berukuran di atas 30 GT harus menangkap ikan di atas 12 mil.
"Ini kami dendakan pada Bapak Sutomo pada KM Kafa Bilkafi dengan (ukuran) 142 GT. Jadi, mengacu pada UU Cipta Kerja, pada dasarnya pelanggaran diarahkan dengan sanksi administratif," kada Adin dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR, Selasa (5/4).
Adin menyebutkan rumus pengenaan denda tersebut adalah 1.000% dikalikan dengan indeks produksi, dikali lagi dengan Harga Patokan Ikan (HPI), dan terakhir dikali hari operasi pelanggaran. Menurutnya, indeks produksi kapal milik Sutomo adalah 1,72, sedangkan HPI pada saat penangkapan adalah Rp 7.200.
Baca Juga:
Penukaran Utang dengan Konservasi, KKP Optimalkan Terumbu Karang di Wilayah Timur
Dengan kata lain, kapal milik Sutomo telah menangkap ikan di luar zonanya selama 62 hari. Adin menjelaskan KM milik Bapak Sutomo tersebut terlihat keluar dari zonanya melalui vessel monitoring system (VMS) yang dimiliki KKP.
Adin menilai pengenaan denda ini akan menimbulkan efek jera, namun tidak menghilangkan kesempatan berusaha. Pasalnya, sanksi senda tersebut tidak menghilangkan Nomor Induk Berusaha (NIB) perikanan.
"Kalau dihadapkan pidana, ada denda berupa penjara. Apabila pidana, maka NIB juga dicabut, maka usaha tidak akan berlanjut," kata Adin.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan jumlah kapal penangkapan ikan ilegal yang ditangkap pada Januari-Maret 2022 hanya enam buah. Secara rinci, empat buah berasal dari Malaysia, sedangkan dua lainnya dari Filipina.
"Waktu 2021, bulan-bulan begini sudah ratusan, tapi 2022 ini cuma enam. Tapi, untuk reported (ilegal) local fishing ini yang sekarang harus kami tata," kata Sakti di Jakarta, Selasa (29/3).
Sakti mengatakan Indonesia sebagai satu-satunya negara dengan sistem penangkapan ikan yang tidak tertata di dunia. Oleh karena itu, Sakti kini sedang menunggu penerbitan aturan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang ditargetkan diteken Kepala Negara pada April 2022.
Menurutnya, beleid itu akan mengatur ukuran dan jadwal penangkapan ikan di dalam negeri. Selain itu, wilayah penangkapan ikan akan dibagi menjadi enam, yakni Zona 1 (Laut Natuna Utara), Zona 2 (Sulawesi Utara sampai Biak), Zona 3 (Laut Arafuru, Laut Banda, dan Laut Aru), Zona 4 (laut yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia), Zona 5 (Selat Malaka), dan Zona 6 (Laut Jawa dan Sulawesi).
Pada 2021, KKP telah menangkap 167 kapal yang telah menyalahi ketentuan atau menangkap ikan secara ilegal. Dari 167 kapal tersebut sebanyak 114 kapal merupakan kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan. Sementara itu, terdapat 53 kapal ikan asing yang mencuri ikan.
Di antaranya 25 kapal berbendera Vietnam, 21 kapal berbendera Malaysia, dan enam berbendera Filipina. Kegiatan illegal fishing oleh kapal asing paling marak terjadi di wilayah perbatasan Laut Natuna Utara, Selat Malaka dan Utara Sulawesi.
Terkait dengan pengawasan pelaku usaha dalam negeri, tingkat kepatuhan kapal penangkapan ikan cukup tinggi yaitu mencapai 93,59%.
Kepatuhan tersebut merupakan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap 1.898 pelaku usaha penangkapan ikan, 599 pelaku usaha pengolahan hasil perikanan, 665 pelaku usaha budidaya ikan dan 308 pelaku usaha distribusi hasil perikanan.
KKP juga menangani sejumlah kasus pelanggaran di bidang kelautan, di antaranya terkait dengan pemanfaatan pulau-pulau kecil, penanganan pencemaran perairan, serta penyelesaian sengketa kapal kandas yang merusak terumbu karang di berbagai daerah.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, Indonesia mengimpor 277 juta kilogram (kg) hasil perikanan dengan nilai US$ 428 juta pada 2020. Impor hasil perikanan Indonesia terbesar berada ke DKI Jakarta. [jat]