Jurnalmaritim.id | Indonesia memang patut diacungi jempol sebab mampu membangun kapal cepat rudal alias KCR untuk keperluan militer.
Kapal cepat rudal bisa menjadi ujung tombak serangan maritim militer Indonesia saat ini.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Kapal cepat rudal dipastikan akan terus diproduksi demi memperkuat militer Indonesia kedepannya.
Salah satu KCR yang indonesia punya ialah KRI Golok.
KRI Golok menjadi trending lantaran bentuknya yang trimaran.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Desain trimaran memang sengaja diterapkan di KRI Golok.
Desain ini membuat KRI Golok mampu melaju stabil di atas air.
Kelebihan lain trimaran tentunya membuat kecepatan kapal bertambah.
Spesifikasi KRI Golok pun terbilang mumpuni.
Ia mempunya panjang 60 metyer dan berat 200 ton.
Bahan lambung kapal menggunakan serat fiber karbon yang ringan namun lebih kuat dari besi.
Bahan ini juga mampu mereduksi pancaran radar musuh, membuatnya mempunyai kemampuan stealth.
Kemampuan siluman ini berguna bagi KRI Golok melaksanakan misi penyusupan pasukan khusus ke wilayah musuh secara diam-diam.
Pasukan khusus ini akan melakukan serangkaian misi sabotase instalasi musuh untuk mengamankan pendaratan amfibi pasukan kawan.
Operasi-operasi macam ini akan jadi makanan KRI Golok kedepannya.
Selain sebagai wahana operasi khusus, KRI Golok sebagai kapal perang tak melupakan fungsi utamanya yakni pertempuran laut.
KRI Golok bakal dilengkapi dengan rudal Naval Strike Missile (NSM) buatan Kongsberg Norwegia.
NSM bukan rudal anti kapal kaleng-kaleng.
Ia dipilih lantaran US Navy juga memakai NSM di fregat Independence class miliknya.
Selain itu fregat rasa destroyer terbaru US Navy, Constellation class juga akan memakai NSM.
Harga NSM juga sangat mahal.
Satu unit rudal dibanderol senilai Rp 31,1 miliar.
Jadi bila KRI Golok dipersenjatai 2 rudal NSM maka sudah menelan anggaran Rp 62 miliar lebih.
Tapi Indonesia yakin bahwa KRI Golok memang harus dipersenjatai dengan NSM.
"TNI AL berencana akan memperkuat armada tempurnya dengan Rudal (Peluru Kendali) Naval Strike Missile yang sangat cocok untuk kapal-kapal perang milik TNI AL karena memiliki daya tembak sejauh 250 km,
Hal ini terungkap saat Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono mengadakan rapat paparan dengan PT. Lundin Industries Invest, Kongsberg Deffence & Aerospace AS dan PT. Datareka Integrasia di Wisma Elang Laut (WEL) Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Rabu 9 Februari 2022," dikutip dari tnial.mil.id.
NSM akan diujicoba langsung KRI Golok di Natuna Utara.
"Untuk menguji kemampuannya, Kasal berkeinginan agar Naval Strike Missile bisa diujicobakan ke KRI Golok di Laut China Selatan dengan jarak sasaran 250 km sesuai spesifikasi misil tersebut.
TNI AL akan membantu fasilitas pengamanan dan target sasaran penembakan dalam rangka latihan, sementara dari pihak PT Kongsberg menyediakan misil yang akan dites dan sistem penembakannya," beber TNI AL.
Sejarah adanya lini KCR di Indonesia sudah lama.
Awal mula KCR ada bermula saat TNI AL membeli Komar class dari Uni Soviet tahun 1960 an.
Komar class dilengkapi rudal Styx si pembunuh kapal induk.
Rudal Styx sangat menyeramkan pada zamannya dimana kapal perang Sekutu alergi bila harus bertemu dengannya.
Zaman berganti dimana kemudian pada tahun 1988 kejayaan Komar class dilanjutkan oleh kapal buatan Lurssen, Jerman yakni Fast Patrol Boat (FPB) 57.
FPB 57 menjadi KCR buatan pertama Indonesia.
Sebanyak 14 FPB 57 dibuat oleh Indonesia.
Belum puas dengan FPB, Indonesia kemudian membuat KCR ukuran 40 dan 60 meter.
Hal inilah yang mengawali lahirnya Clurit class dimana KRI Clurit jadi yang perdana.
Indonesia menggunakan desain SIGMA yang didapat dari proses transfer teknologi dari Belanda untuk Clurit class.
Setelah KRI Clurit lahir, menyusul saudara-saudaranya macam KRI Kujang, KRI Beladau, KRI Alamang, KRI Surik, KRI Siwar, KRI Parang dan KRI Terapang.
Itu untuk panjang 40 meter, versi 60 meter ada lagi.
Untuk panjang 60 m, TNI AL ada Sampari class, yakni KRI Sampari, KRI Kerambit, KRI Tombak, KRI Halasan yang juga semuanya dilengkapi dengan rudal C-705.
Namun baru-baru ini Indonesia mengganti rudal anti kapal pada KCR yang akan mereka buat selanjutnya dengan Exocet MM40 Block III.
Asal tahu saja Exocet MM40 Block III sama dengan rudal yang terpasang pada light fregat Martadinata class.
Hal ini menjadikan KCR memilik daya hancur setara light fregat.
Selain dilengkapi rudal anti kapal kelas wahid, KCR juga bakal dibekali sistem sensor yang oke punya buatan Terma Denmark.
Terma juga baru saja menerima berbagai macam kontrak dari TNI AL untuk mengupgrade Sensor, Weapon and Command (SEWACO) bagi korvet Diponegoro class.
Terma juga akan menyuplai SEWACO bagi empat KCR baru TNI AL.
Kemudian ada kapal Bantuan Rumah Sakit (BRS) TNI AL yang bakal memakai radar SCANTER besutan Terma.
"Solusi berteknologi tinggi Terma dioperasikan di semua teater operasi (udara, darat, dan laut) oleh pelanggan Indonesia, termasuk Penjaga Pantai (BAKAMLA), Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJP) , Angkatan Laut Indonesia (TNI-AL), Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU), dan Bandara Internasional Jakarta. Pada tahun 2019, Terma dianugerahi kontrak untuk penyediaan suite sistem komando dan kontrol C-Flex lengkap untuk empat kapal serang cepat 60 meter (KCR-60). Baru-baru ini, radar SCANTER telah dipilih untuk melengkapi kapal non-tempur seperti Kapal Bantuan Rumah Sakit," tulis terma.com.
Luar biasa bukan lini KCR Indonesia, sudah kapal buatan dalam negeri, irit biaya, serta murah.
KCR memang jadi solusi praktis bagi Indonesia yang saat ini kekurangan armada kapal perang.
Hal itu pernah diungkapkan oleh peneliti di Institute of Defense and Strategic Studies, unit konstituen dari S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University di Singapura, Koh Swee Lean Collin.
Collin menjelaskan bila Indonesia belum bisa menyediakan sendiri 56 fregat secara serempak untuk memperkuat militernya.
"Konfigurasi high and low berlaku untuk Combat Strike Group, di mana 10-12 kapal selam dan 56 fregat dan korvet akan tampak ambisius," jelasnya dikutip dari The Diplomat pada 18 Agustus 2015.
Maka dari itu Indonesia menghitung ulang kemampuan finansialnya agar tetap dapat memenuhi kebutuhan pertahanan.
Solusinya KCR yang murah dan sederhana.
"Kalibrasi ulang yang diusulkan membayangkan pengurangan jumlah platform berkemampuan tinggi yang lebih besar, fregat dan korvet sambil meningkatkan proporsi kapal serang cepat bersenjata rudal, yang relatif lebih murah dan lebih sederhana untuk dibangun dalam jumlah yang lebih besar," jelasnya.
Indonesia memang tengah memperbanyak pembuatan KCR saat ini dimana bisa dibangun sepenuhnya di dalam negeri.
"Pendekatan ini memanfaatkan kekuatan khusus dari basis industri domestik Indonesia, yang sejauh ini telah memproduksi kapal serang cepat seri KCR40/60 untuk TNI-AL serta membuat langkah penting dalam mengembangkan sistem tempur.
Faktanya, KCR40-60-series telah menjadi salah satu area utama yang mengalami pertumbuhan pesat selama Renstra I, dengan hingga 18 unit semuanya ditugaskan atau dalam berbagai tahap konstruksi dan uji coba sejak 2011," ungkapnya.
Tak pelak saat ini KCR jadi ujung tombak serangan maritim Indonesia.
"Keadaan akhir kalibrasi ulang ini mungkin berupa armada fregat dan korvet yang lebih kecil, yang berfungsi sebagai pemimpin armada dan simpul komando dan kontrol utama untuk satuan tugas serangan tempur pada saat perang," jelasnya.
Kapal Cepat Rudal memang jadi solusi praktis maritim Indonesia saat ini karena keterbatasan anggaran pertahanan dan tak sejalannya beberapa pihak akan political will untuk mendukung modernisasi alutsista NKRI. [jat]