Jurnalmaritim.id | Beberapa waktu yang lalu, media informasi dihebohkan dengan berita tentang penangkapan kapal nelayan Tiongkok, KM Kway Fey 10078 yang tertangkap tangan oleh kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan saat mencuri ikan di perairan Indonesia.
Hal ini menjadi kontroversi ketika Tiongkok melakukan intervensi karena kapal Coast Guard-nya dengan sengaja menabrak kapal KM Kway Fey 10078 agar tidak bisa dibawa.
Baca Juga:
Peran Penting Indonesia dalam Menangani Konflik Laut China Selatan (LCS)
Praktis, fenomena ini mengundang protes keras Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Kejadian ini tentu saja menimbulkan ketegangan baru di wilayah Laut China Selatan (LCS), di mana ketegangan yang telah terjadi sebelumnya pun belum menemukan titik cerah kapan akan berakhir.
Konflik Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara di LCS sendiri merupakan satu dari serangkaian konflik antar negara yang pernah atau masih berlangsung di kawasan Asia Pasifik pada saat ini, seperti konflik antara India dan Pakistan, Korea Utara dan Korea Selatan, konflik antara Tiongkok dan Taiwan, atau pun konflik seputar Blok Ambalat yang melibatkan Indonesia dan Malaysia.
Baca Juga:
Indonesia, Thailand dan Malaysia Kompak Tinggalkan Dollar AS
Ini belum termasuk ketegangan–ketegangan kecil yang sering terjadi antar negara di kawasan tersebut.
Banyaknya ketegangan ataupun kepentingan yang ada dan terjadi di kawasan ini, secara langsung atau tidak langsung membuat setiap negara yang berada di kawasan ini berusaha semaksimal mungkin terus meningkatkan kekuatan militernya.
Jauh sebelum konflik antara kapal Patroli KKP dengan kapal penjaga pantai Tiongkok tersebut terjadi, Direktur Utama PT. Pindad (Persero), Silmy Karim, pernah membeberkan peta kekuatan negara-negara Asia Pasifik yang disarikan beliau melalui akun twitter beliau @silmykarim pada awal 2015 yang lalu.