Akhlak.id | Ahlussunnah meyakini Allah Ta’ala memiliki sifat al-ghadhab (murka). Dengan kata lain, Allah Ta’ala bisa murka. Di antara dalilnya, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka serta menyediakan neraka Jahanam bagi mereka. Dan (neraka Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. Al Fath: 6).
Baca Juga:
Sederet Alasan Seseorang Miliki Sifat Tertutup dan Pendiam, Apa Saja?
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar” (QS. An Nahl: 106).
Allah Ta’ala juga berfirman tentang li’an,
Baca Juga:
4 Tanda Seseorang Bersikap Egois, Jangan Sampai Ada pada Dirimu!
“Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar” (QS. An Nur: 9).
Dalam hadis, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ketika Allah Ta’ala menetapkan takdir para makhluk, Allah Ta’ala menulis dalam kitab-Nya (Lauhul Mahfuzh). Yang kitab tersebut ada di sisi-Nya, di atas Arsy. Allah menuliskan, ‘sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku'” (HR. Bukhari no. 3194).
Sifat al-ghadhab juga disebutkan oleh Allah dengan lafaz al-maqtu. Allah Ta’ala berfirman,
“Sungguh besar murka Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan” (QS. Ash Shaff: 3).
Juga terkadang disebutkan dengan lafaz as-sukhtu. Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS. Ali Imran: 162).
Dan ayat-ayat serta hadis-hadis lainnya.
Ahlussunnah meyakini dan memaknai ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut apa adanya, bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat murka. Namun murka Allah tentu adalah sifat murka yang layak bagi keagungan Allah Ta’ala, tidak sama seperti murkanya makhluk.
Ath-Thahawi rahimahullah dalam Al Aqidah Ath Thahawiyah mengatakan,
“Allah Ta’ala bisa murka dan bisa rida, namun (dengan murka dan rida yang) tidak sama seperti salah satu makhluk-Nya.”
Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah dalam Syarah Ath-Thahawiyah mengatakan,
“Mazhab salaf dan para imam kaum Muslimin menetapkan sifat murka, rida, al ‘adawah (memusuhi), al wilayah (cinta), al hubb (cinta), al bughdhu (benci), dan sifat lainnya bagi Allah. Dan semua sifat yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Al-ghadhab (murka) adalah lawan dari rida (senang). Di antara akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah meyakini bahwa Allah memiliki sifat al-ghadhab (murka) dan meyakini bahwa Allah murka kepada orang-orang yang layak dimurkai, seperti orang-orang kafir atau selainnya.
Dalam ayat tentang li’an Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar” (QS. An Nur: 9). Maka sifat al-ghadhab adalah salah satu sifat fi’liyah Allah” (Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, hal 243).
Orang-orang yang melakukan ta’thil (menafikan sifat-sifat Allah) mereka juga menolak sifat al-ghadhab (murka). Demikian juga orang-orang ateis dan liberal, mereka mengatakan “masak tuhan kok marah?!” Mereka ini sejatinya melakukan demikian karena menyamakan Allah dengan makhluk. Dan ini jelas kekeliruan.
Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang yang melakukan ta’thil, mereka berkata, ‘Allah tidak disifati dengan sifat murka, karena definisi murka itu adalah mendidihnya darah, dan Allah tidak mungkin demikian.’ Maka kita katakan, memang benar bahwa marah itu adalah mendidihnya darah. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ketahuilah bahwa kemurkaan itu adalah bara api yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia” (HR. Ahmad no. 11587, dinilai dha’if oleh Syekh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).
Sehingga ketika marah, pembuluh nadi membengkak, emosi meradang, serta wajah memerah. Namun ini adalah murkanya makhluk! Adapun murkanya Allah tidak demikian. Murkanya Allah adalah murka yang layak bagi keagungan dan kemuliaan Allah ‘azza wa jalla” (Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, hal 243).
Murka Allah adalah murka yang penuh dengan keadilan dan tidak ada kezaliman di dalamnya. Allah Ta’ala murka kepada orang-orang yang layak dimurkai dan kemurkaan Allah berupa azab dari-Nya yang selalu sepadan dengan maksiat dan dosa yang dilakukan. Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
“Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman, ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim’” (HR. Muslim no. 2577).
Bahkan Allah telah banyak memberikan ampunan dan tidak murka kepada para pelaku dosa. Sehingga terkadang seseorang berbuat 10 dosa, Allah murka pada 1 dosanya saja dan Allah ampuni 9 dosa lainnya. Andaikan pelaku dosa selalu mendapat murka dan hukuman dari setiap dosanya, maka tidak ada orang yang selamat. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30).
Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa bertakwa kepada Allah dan dijauhkan dari murka-Nya. Wallahu waliyyut taufiq. [jat]