Akhlak.id | Tabattul artinya meninggalkan nikah dalam rangka zuhud dan ibadah, seperti para rahib dan pendeta. Dalam Mu’jam Musthalahat Fiqhiyyah disebutkan,
“At tabattul artinya meninggalkan nikah dalam rangka hidup zuhud.”
Baca Juga:
Sebanyak 143 Jamaah Calon Haji Ikuti Manasik Hati Tingkat Kecamatan di Barut
Tabattul dilarang dalam Islam, baik dilakukan oleh laki-laki maupun wanita. Sebagaimana dalam hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ’anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam melarang Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul. Andaikan tabattul dibolehkan, sungguh kami akan melakukan kebiri” (HR. Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 1402).
Dari Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
Baca Juga:
Ibadah Jumat Agung dan Sambut Paskah, Ini Pesan Bupati Samosir!
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang tabattul” (HR. Tirmidzi no. 1082, disahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah mengatakan,
“Orang-orang Manuwiyah (Manikheisme) dan para pendeta Nasrani, mereka beribadah kepada Allah dengan cara meninggalkan nikah. Ini adalah kebatilan. Karena jalannya para Nabi terdahulu ‘Alaihimus salam, yang Allah ridai, adalah memperbaiki perangai manusia dan mencegah agar manusia tidak bengkok (menyelisihi fitrah yang lurus). Bukan malah menjauhkan manusia dari fitrahnya” (Ad Durar Al Bahiyah, 2: 136).
Islam memerintahkan untuk menikah
Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firnan-Nya,
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur: 32).
Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita untuk menikah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056 dan Muslim no. 1400).
Dalam hadis di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah). Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencela orang-orang yang benci terhadap pernikahan dan meninggalkannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat)” (HR. Ibnu Majah no. 1846, disahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).
Syubhat dengan beralasan sebagian ulama tidak menikah
Sebagian orang yang mendukung paham childfree atau yang ingin melakukan tabattul ada yang beralasan bahwa beberapa ulama ada yang tidak menikah.
Memang benar sebagian ulama seperti Ibnu Jarir Ath Thabari, An Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahumullah, mereka wafat dalam keadaan belum menikah. Namun alasan ini tidak tepat karena beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, mereka tidak menikah bukan karena berpemahaman childfree atau dalam rangka tabattul.
Kedua, perbuatan ulama bukan dalil. Jangan sampai meninggalkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah demi mengikuti perbuatan ulama.
Ketiga, Allah Ta’ala dalam Al Qur’an memotivasi kita untuk menikah dan memiliki anak.
Keempat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang wajib untuk kita ikuti, beliau menikah dan mempunyai banyak anak.
Kelima, para ulama yang tidak menikah mereka memiliki uzur, di antaranya karena mereka sangat-sangat sibuk membela agama dengan menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Seperti misalnya:
– Ath-Thabari Rahimahullah menulis tafsir Ath Thabari sebesar 26 jilid (!!) itu pun beliau anggap belum selesai.
– An Nawawi Rahimahullah yang di siang hari beliau ikuti 12 majelis ilmu, dan di malam hari beliau mengulang pelajaran dan menulis ilmu.
– Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah yang ketika di kamar mandi saja meminta dibacakan kitab agar tetap bisa mendengar ilmu. Bagaimana lagi ketika sedang tidak di kamar mandi?!?
Terbayang bukan, bagaimana sibuknya mereka dan padatnya waktu mereka untuk ilmu dan untuk agama?!? Sangat-sangat bisa dipahami mengapa mereka tidak sempat untuk menikah.
Keenam, para ulama yang tidak menikah, mereka sibuk berkhidmat untuk agama dan membela agama, mereka habiskan waktu mereka untuk itu. Adapun para penganut childfree dan pembelanya, bagaimana keadaan mereka terhadap agama? Ataukah mereka sibuk mengumpulkan pundi-pundi dunia?
Ketujuh, sebagian ulama menjelaskan bahwa ada kemungkinan para ulama yang tidak menikah itu karena mereka tidak memiliki ketertarikan kepada wanita.
Kedelapan, para ulama tersebut terus mendapatkan aliran pahala dari jasa-jasanya dalam mengajarkan dan mendakwahkan ilmu serta membela Islam.
Kesembilan, para ulama tersebut mengharamkan tahdidun nasl (memutus keturunan) dengan cara apapun. Para ulama sepakat terlarangnya tahdidun nasl jika secara total. Hal yang dibolehkan sebagian ulama adalah tanzhimun nasl (mengatur kelahiran).
Kesepuluh, kebanyakan ulama dari zaman dahulu sampai zaman sekarang mereka menikah dan berketurunan. Mereka yang tidak menikah sangat-sangat-sangat sedikit sekali.
Maka jelas sudah, tidak tepat penggunaan argumen “sebagian ulama tidak menikah” untuk mendukung pemikiran childfree atau melegalkan tabattul yang jelas-jelas bertentangan dengan fitrah manusia ini.
Wallahu a’lam. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. [jat]