WahanaNews-Tani | Rahmad Pribadi, Direktur Utama PT Pupuk Kaltim (Persero) mengatakan harga pupuk di Indonesia menunjukkan tren yang menurun.
Kondisi ini mulai terlihat seiring dengan semakin melandainya pandemi COVID-19.
Baca Juga:
Pangkas 145 Regulasi, Kebijakan Distribusi Pupuk Langsung Ke Petani Dinilai Tepat
"Trend harga menurun, ketika pandemi berakhir. Kita lihat, sudah ada pertumbuhan ekspor bahan baku dari China," kata Rahmad, di The Langham Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Rahmad menjelaskan saat perang antara Rusia dan Ukraina terjadi, harga gas dunia hingga melonjak sangat tinggi. Alhasil, harga pupuk berbasis nitrogen pun juga sempat melonjak naik terutama untuk pupuk Urea.
Kini, produksi pupuk global berangsur-angsur meningkat, salah satunya yakni produksi Urea di Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS juga menggelontorkan subsidi demi mempercepat produksinya.
Baca Juga:
Mendagri Apresiasi Perjuangan Mentan Amran Tambah Alokasi Pupuk
"Patut diingat. Meski ada perang, fertilizer ini dikeluarkan dari daftar sanksi (Rusia). Jadi boleh beli bahan-bahan ini dari Rusia. Yang agak repot itu Belarusia. Harus lewat Lithuania, sementara logistiknya disanksi. Tapi toh Belarusia sekarang menemukan cara lewat rute yang lebih jauh," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Keuangan Umum Pupuk Kaltim, Qomaruzzaman. Ia mengatakan tren harga pupuk di dalam negeri menurun sejak akhir bulan ini.
"Trend harga turun di dalam negeri, menyesuaikan dengan harga internasional. Ini akhir bulan mulai turun 12%. Urea non subsidi," kata Qomar.
Sementara itu Pabrik pupuk rencananya akan dibangun di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, untuk menggenjot produksi dalam negeri. Nantinya, pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi pupuk hingga 2 juta ton per tahun.
Rahmad mengatakan produk yang dihasilkan adalah amoniak dan urea.
"Nanti pabrik pupuk yang akan ada di Papua Barat ini kapasitasnya adalah 2 juta ton, terdiri dari amonia dan urea. Dan ini adalah proyek strategis nasional atau PSN," terang Rahmad. [tum/alp]