WahanaNews-Tani | Sejumlah penyebab peremajaan sawit rendah sampai saat ini diungkap Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).
Masalah pertama soal syarat yang masih berbelit-belit, terutama dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Untuk diketahui, program peremajaan sawit rakyat (PSR) merupakan wadah yang memberikan subsidi atau dana petani sawit untuk melakukan peremajaan kelapa sawit. Menurut Ketua Apkasindo Gulat Manurung, saat ini yang masih menjadi kendala adalah syarat dari KLHK.
Ia mengungkap dari KLHK masih ada syarat bahwa lahan sawit itu harus bebas dari kawasan hutan, dan syarat itu harus memerlukan surat yang cukup banyak.
"Padahal Undang-undang Cipta Kerja sudah mengatakan yang 5 hektar ke bawah, (kepemilikan) lima tahun minimal dikuasai itu clear, tapi kami kan butuh surat. Lantas suratnya gimana? Suratnya diurus segala macem, petani sawit nggak akan mampu itu. Jadi yang ada harusnya adalah yang sudah eksisting seperti UU CK sudah clear kan saja ga usah lagi nambah nambah persyaratan yang justru meribetkan program PSR," ungkapnya saat ditemui di sela sela acara Rakornas Kelapa Sawit 2023, di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Senin (27/2/2023).
Baca Juga:
Kejagung Geledah Kantor KLHK Terkait Dugaan Korupsi Kelapa Sawit Senilai Ratusan Miliar
Gulat juga mengeluhkan bahwa untuk memenuhi persyaratan tidak hanya dari KLHK dan juga Kementerian ATR/BPN membuat waktu habis untuk mengumpulkan persyaratan saja. Akibatnya, realisasi peremajaan sawit pada 2022 saja disebut menjadi yang terendah dalam sejarah karena tidak ada sawit yang diremajakan tahun lalu di Riau hingga Aceh.
"PSR itu tahun lalu adalah terburuk dalam sejarah tahun 2022. beberapa provinsi 0%, Riau-Aceh yang pusat pusat. Karena persyaratanya yang banyak dan petani nggak bisa mengerjakan itu, minta surat dari KLHK, dari ATR BPN, habis situ dikerjain lagi suruh dia membuat ulang untuk satu hektar petani kan ga punya duit habis itu harus daftar online, sertifikat harus ganti nama. Bisa bisa dua tahun baru selesai," keluhnya.
Harga Pupuk Mahal
Selain persyaratan yang berbelit-belit, petani juga mengeluhkan harga pupuk yang belakangan ini telah meningkat. Peningkatan harga pupuk itu mencapai 300%. Akibatnya, petani enggan melakukan peremajaan, selain sulit mendapatkan subsidi PSR.
"Kami nggak mupuk tahun lalu pupuk naik 300% semakin menurun karena nggak ada replanting karena ga bisa PSR. Padahal duitnya tahun kemarin dikasih Rp 5,4 triliun yang terpakai cuma Rp 500 miliar. Sebenarnya egoisme dari tiga kementerian ini membuat buyar. Kalau saya bilang ganti menterinya. Ini kebutuhan petani sawit jangan dibuat sulit. Karena memang petani sawit butuh perhatian, persyaratannya dipermudah," tegasnya.
Sebagai informasi, Kementerian Pertanian mengungkap realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) sangat minim. Selama lima tahun terakhir dari 2017-2922 hanya 278.200 hektare (ha), padahal Direktur Jenderal, Perkebunan Andi Nur Alam Syah mengungkap setidaknya ada 2,8 juta hektare lahan sawit yang potensial untuk diremajakan.
Jika dihitung persentasenya, artinya realisasinya hanya 9,93% saja. Angka itu, dari total sawit 2,8 juta hektare yang potensial di Indonesia untuk diremajakan. [tum]