WahanaNews-Tani | Data Badan Pusat Statistik tahun 2022 menunjukkan 65,82 juta penduduk Indonesia berada dalam kelompok umur pemuda.
Namun, persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya 18 persen. Generasi muda lebih tertarik bekerja di sektor manufaktur (25 persen) dan sektor jasa (57 persen).
Baca Juga:
Polres Taput Dukung Asta Cita Presiden Salah Satunya Meningkatkan Ketahanan Pangan
Seperti diberitakan Kompas.id Senin (27/2/2023) generasi muda menjadi tumpuan pertanian ekonomi hijau berkelanjutan guna memperkuat ketahanan pangan di Indonesia. Minat generasi muda bekerja di sektor pertanian harus ditingkatkan demi menjaga regenerasi petani. Namun, anak muda juga membutuhkan bimbingan dan perhatian khusus agar pemikirannya bisa berbuah inovasi yang memajukan pertanian Tanah Air.
Hasil studi dan pengamatan lapang program ”Promoting Green Economic Initiatives by Women and Youth Farmer in The Sustainable Agriculture Sectors in Indonesia” atau ECHO-Green mengungkapkan, kapasitas para petani muda perlu ditingkatkan agar bisa melanjutkan lahan pertanian yang diwariskan pendahulunya. Regenerasi petani ini penting demi ketahanan pangan nasional.
Program yang didukung Uni Eropa bersama Yayasan Penabulu, Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, dan Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) dari Januari 2020 hingga Februari 2023 ini telah menghasilkan beberapa petani muda sukses.
Baca Juga:
Dukung Ketahanan Pangan, Polres Subulussalam Tanam Jagung Serentak
Ternyata pertanian ini sangat menjanjikan dari cabai kalau dibandingkan dengan guru honorer jelas jauh sekali pendapatannya.
Zainul Haris (30), petani muda asal Dusun Batu Sela, Desa Dara Kunci, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, yang sukses bertani cabai saat ditemui di sela acara ECHO-Green di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (27/2/2023).
Salah satunya, Zainul Haris (30), petani muda asal Dusun Batu Sela, Desa Dara Kunci, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, yang sukses bertani cabai. Zainul bersama 20 petani lain (rata-rata usia 19-30 tahun) membentuk kelompok ”Petani Milenial Sukses Bareng” yang berinovasi mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia, menggantinya dengan bahan organik seperti kotoran hewan dan mulsa jerami.
”Di tempat saya, pertanian terlalu bergantung pada pupuk kimia, jadi saat pemerintah mengurangi subsidi pupuk petani kesulitan sekali. Jadi, kami mengembangkan pola tanam yang organik, kami membuat kompos dan pestisidanya sendiri, walau tetap masih menggunakan kimia, hanya diimbangi,” kata Zainul saat ditemui di Jakarta, Senin (27/2/2023).
Sarjana Sastra Arab lulusan Universitas Islam Negeri Mataram itu sempat tidak mau menjadi petani melanjutkan lahan orangtuanya. Dia memilih jalan lain menjadi guru honorer, tetapi selama 15 tahun mengajar dia tidak merasakan kenikmatan bekerja. Akhirnya ia kembali ke kebun dan mempelajari pertanian agar lahan orangtuanya semakin maju.
”Ternyata pertanian ini sangat menjanjikan dari cabai, kalau dibandingkan dengan guru honorer jelas jauh sekali pendapatannya. Dulu, jam kerja saya diatur, sekarang saya atur sendiri kapan saya bekerja, bahkan membuka lapangan pekerjaan. Saya tidak pernah mau mengakui saya anak petani, sekarang saya dan teman-teman bangga menjadi petani,” ucapnya.
Kini Zainul bersama kelompok petani mudanya bisa menghasilkan keuntungan mencapai Rp 25 juta per minggu dari bertani cabai. Sistem tani organik yang diinisiasi Zainul pun menjadi contoh bagi petani lain di Desa Dara Kunci.
Ella Familia Putri (20), pemuda asal Padang Pariaman, Sumatera Barat yang menjadi petani padi sambil berkuliah di Universitas Negeri Padang, saat ditemui di sela acara ECHO-Green di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (27/2/2023).
Hal yang sama dirasakan Ella Familia Putri (20) asal Padang Pariaman, Sumatera Barat, yang menjadi petani padi sambil berkuliah di Universitas Negeri Padang. Selain turun langsung bertani dengan sistem organik, Ella juga mengubah sistem penjualan hasil tani mereka menjadi lebih modern berbekal ilmu dari bangku kuliah di jurusan manajemen perdagangan.
”Menurut saya, bertani di usia muda itu keren karena di tempat saya petani sudah lanjut usia, sedikit sekali generasi baru yang melanjutkannya. Padahal, potensinya sangat besar karena dekat hutan, tetapi ada kebun dan sawah," kata Ella.
Dia berharap anak muda tertarik menyalurkan ilmu-ilmu mereka untuk memajukan sektor pertanian karena Indonesia adalah negara agraris. Baginya, masa depan pertanian Indonesia ada di tangan anak muda.
Selain di Padang dan Lombok, program ECHO-Green juga dijalankan di Kecamatan Godong dan Penawangan, Grobogan, Jawa Tengah. Generasi muda bersama para perempuan di sana menjadikan jerami dan sekam sebagai media jamur yang bernilai tinggi.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, saat diwawancara wartawan seusai menutup program romoting Green Economic Initiatives by Women and Youth Farmer in The Sustainable Agriculture Sectors in Indonesia atau ECHO-Green di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (27/2/2023).
Dalam tiga tahun, program ini telah memfasilitasi penyusunan 16 peraturan desa tentang tata kelola wilayah desa secara partisipatif dengan lima peta tematik di 99 desa, seperti peta potensi sumber daya alam desa, penggunaan lahan pertanian, bencana kerentanan, tata kelola sumber daya air dan irigasi, serta kawasan konservasi tinggi. Mereka juga melahirkan 147 kelompok tani di 3 kabupaten, 73 kelompok di antaranya kelompok tani muda.
”Kami sadar kebutuhan pekerjaan nonpertanian di kota sangat tinggi. Namun, kita membutuhkan generasi muda untuk mengembangkan pertanian, pangan, dan logistik. Generasi muda ini harus tertarik untuk kembali ke desa dan mengembangkan kampung halaman mereka,” kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket.
Noor Avianto, Koordinator Pangan dan Pertanian di Direktorat Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), memaparkan, petani Indonesia sudah menua. Sebanyak 64,2 persen petani sudah berusia di atas 45 tahun sehingga butuh generasi muda untuk melirik potensi sektor pertanian. [tum/Kompas.id]