WahanaNews-Persona| Selain melalui amendemen UUD 1945, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Menurut Yusril, Presiden Jokowi bisa mengeluarkan dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.
Baca Juga:
Sidang Praperadilan Firli Bahuri, Yusril Dihadirkan Jadi Ahli
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menerangkan bahwa dekrit adalah sebuah revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum alias setelah pemberlakuannya.
Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah.
Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.
Baca Juga:
Usai Diusulkan Golkar Jadi Cawapres Prabowo, Gibran Sambangi Rumah Yusril
Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.
"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?" ungkap Yusril melalui keterangan tertulis yang diterima pada Minggu (27/2/2022).
Yusril menilai peristiwa Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sebagaimana didalilkan Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro. Dia tidak melihat cukup alasan untuk menyatakan adanya dua faktor tersebut.
Dekrit 5 Juli 1959, kata Yusril, adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution. Menurut dia, saat itu Nasution lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik, terutama PNI dan PKI. ”Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer dan ini sejarah tahun 1959,” ujar Yusril.
Peristiwa 1959 itu berbeda dengan yang terjadi pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.
"Sebelum niat itu dilaksanakan, saya sudah memberikan tausiyah kepada Gus Dur dalam sidang kabinet pada 6 Februari 2001. Saya mengingatkan dalam posisi saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang memang memberikan nasihat hukum kepada Presiden," kata Yusril.
Kepada Gus Dur, Yusril saat itu mengatakan bahwa rencana mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko. Kalau tindakan itu mau disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka tidak ada landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk mendukungnya. Dekrit hanya akan berhasil jika didukung kekuatan militer.
"Sementara saya melihat TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut. Mengingat saat itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan diri daripada dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR," tutur Yusril.
Bukannya direspons positif, Gus Dur malah marah. Yusril dipecat keesokan harinya, 7 Februari 2001 dan posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM digantikan Baharudin Lopa. Menteri baru ini bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II dari DPR di MPR.
Tetapi Gus Dur akhirnya meneken dekrit pada 23 Juli 2001. Memang, tindakan Gus Dur mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi, dan tokoh-tokoh LSM. Namun karena tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit dengan memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu? Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu," kata dia.
Menurutnya risiko politiknya terlalu besar. Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah Keputusan Presiden sebagai Panglima Tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi.
"Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan kepada saya bahwa beliau tidak berkeinginan memegang jabatan tiga periode. Langkah itu, menurut beliau, tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-cita reformasi," ujar Yusril. [as/rin]