Dari uang siswa sebanyak itu pun, separuhnya dikembalikan ke sekolah yang muridnya dikursuskan di LPK BSI. Hampir semua SMA negeri di Depok diajak bergabung oleh Naba dkk. Ternyata, pola ini efektif karena jumlah siswa BSI terus bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun.
Perkembangan positif inilah yang menambah optimisme lima sekawan ini untuk makin serius menggulirkan bisnis pendidikan. Maka, pada 1990, setelah melihat pesatnya pertumbuhan, mereka berani membeli lahan seluas 1.000 m2 dan bangunan lima lantai di Pondok Labu, yang mereka jadikan sebagai pusat pendidikan (kampus).
Baca Juga:
Kepala INDEF: Kurs Rupiah Tinggi, Beban UMKM dan Ibu Rumah Tangga Naik
Namun, mereka tak merogoh kocek sendiri untuk membeli properti sebesar itu karena memang tak punya cukup uang cash. Mereka meminjam ke Bank Danamon, sebesar Rp 400 juta. Lahan dan bangunan itulah yang dijadikan agunan ke bank. “Kami nekat saja. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa maju?” kata Naba seraya menjelaskan, hari jadi BSI tanggal 3 Maret 1988.
Naba berkeyakinan, dengan kenekatan dan utang yang besar, mereka pasti terpacu bekerja keras agar bisa mengembalikan utang itu. Terbukti lima tahun kemudian, utang bisa dilunasi. Tentu, ini pun tak lepas dari strategi dan keputusan menaikkan status lembaga, dari pusat kursus biasa menjadi Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) - ditandai dengan pembukaan program pendidikan komputer setahun pada 1994. Praktis, setelah mampu melunasi utang Rp 400 juta itu, pihak bank makin percaya. Bank kemudian berani menawarkan pinjaman baru dengan nilai yang lebih tinggi, mencapai Rp 1 miliar.
Hanya saja, Naba dkk. tak terburu-buru menerima tawaran kredit baru. Betapapun, pihaknya tetap mesti hati-hati dalam berekspansi. Wajar, tawaran kredit baru senilai Rp 1 miliar itu tak diambil semuanya. Mereka hanya mengambil kredit untuk menyewa gedung dan membeli sarana belajar. Tepatnya untuk pembukaan cabang BSI di pusat kota, di Kramat Raya.
Baca Juga:
PLN Jatim-BSI Tanda Tangani Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik di Banyuwangi
Jadi, tidak membeli, hanya menyewa. Ternyata, keputusan itu tepat karena ketika terjadi kerusuhan 27 Juli 1996 gedung kuliah di Kramat Raya ikut terbakar hingga menghanguskan 50 unit komputer, bahan belajar dan data mahasiswa. Berarti kerugiannya hanya ratusan juta. Bayangkan kalau gedung itu milik sendiri, tentu kerugiannya akan berlipat-lipat.
Sewaktu krisis moneter, usaha lima sekawan ini benar-benar dalam terpaan badai. “Ketika itu, tiap bulan kami sempat harus bayar utang sampai Rp 60 juta. Kelimpungan juga,” tutur Naba yang asli Purworejo. Untung, berkat upaya untuk terus bertahan yang tak pernah pupus, BSI berhasil survive. Waktu itu manajemen BSI merasa harus bertanggung jawab melangsungkan pendidikan bagi 500 mahasiswa BSI.
Tak mengherankan, pasca krisis, kampus BSI di Kramat Raya difungsikan kembali, bahkan ditambah jumlahnya. “Kini kami sudah punya empat gedung di sekitar Kramat,” katanya bangga. Keempat gedung itu masing-masing berlokasi di Kramat Raya 16 dan 168, serta Salemba 22 dan 45.