WahanaInfrastruktur.com | Berawal dari usaha kursus kecil-kecilan, kini Bina Sarana Informatika berkembang pesat menjadi akademi pendidikan ternama dan punya lebih dari 40 kampus. Bagaimana kewirausahaan di baliknya? Begini penelusurannya.
“Mulailah berwirausaha dari skala kecil, dan rintislah usaha sedari usia Anda masih muda.” Nasihat ini tampaknya dihayati dan dijalankan betul oleh lima sekawan -- Naba Aji Notoseputro, Herman P., Efriadi, Surachman dan Sigit – dalam merintis bisnis pendidikan hingga mencapai sukses seperti sekarang. Bina Sarana Informatika (BSI) menjadi bukti ketekunan Naba dkk. membangun bisnis sendiri dari skala kecil.
Baca Juga:
Kepala INDEF: Kurs Rupiah Tinggi, Beban UMKM dan Ibu Rumah Tangga Naik
Semua itu berawal pada 1988, ketika lima sekawan tersebut tengah duduk di semester akhir Institut Pertanian Bogor. Di saat mereka belum menyelesaikan kuliah, mereka coba-coba mendirikan lembaga kursus komputer kecil-kecilan di Depok, Jawa Barat. Modal untuk menggulirkan usaha hanya lima unit komputer PC IBM XT 8088 dan kenekatan. Mereka setiap hari bolak-balik Depok-Bogor. “Pagi kuliah dulu di Bogor, lalu siang dan sore meluncur ke Depok untuk ngajar,” tutur Naba, yang bersama teman-temannya memanfaatkan jasa transportasi kereta api Bogor-Depok, yang setiap jam melintas.
Tidak tanggung-tanggung, di saat perintisan usaha, kelima personel ini terjun melakukan semua hal bersama. Mulai dari menjadi tenaga administrasi, tenaga pengajar, hingga berpromosi dengan membuat dan memasang spanduk di tiang listrik di seputar Kota Depok, semua mereka lakukan sendiri.
Menurut Naba, proses pengenalan lembaga kursusnya tidak mudah. Saat itu Depok belum seramai sekarang. Depok masih senyap, karena belum banyak mal dan kampus seperti sekarang. Sehingga, sulit mencari siswa. “Dalam sebulan kami hanya mendapatkan lima orang,” kata Naba, Direktur BSI yang kini menginjak usia 39 tahun. Toh, kondisi tersebut tak memudarkan semangat mereka. Bisnis terus dilanjutkan. Dan terbukti, pelan-pelan, dari bulan ke bulan ada penambahan jumlah murid.
Baca Juga:
PLN Jatim-BSI Tanda Tangani Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik di Banyuwangi
Bahkan, saking optimistisnya, sekitar 6 bulan kemudian Naba dan keempat kawannya menyiapkan tambahan tempat kursus baru di pinggiran Jakarta, persisnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan. “Kami memberanikan diri mengontrak ruko di dekat pasar,” ujar Naba. Setelah itu, berturut-turut mereka membuka cabang baru di Ciputat dan Bekasi di tahun berikutnya dengan sistem kontrak.
Namun apa daya, gayung rupanya tak bersambut. Respons pasar tidak seperti yang mereka harapkan: jumlah peserta sedikit. Tak mengherankan, mereka terpaksa menutup cabang di Ciputat dan Bekasi itu. Mereka memang masih mengembangkan bisnis dengan pola trial and error sehingga harus terbentur di sana-sini. Tanpa pengalaman.
Belajar dari berbagai kegagalan, lima sekawan ini kemudian mencoba mengubah strategi. Setelah sebelumnya mengandalkan pendekatan ritel/individual, mereka lalu mencoba pendekatan institusional. “Kami bekerja sama dengan SMA-SMA,” tutur Naba. Hal ini digabung dengan strategi harga murah. Biaya pendidikan dipatok serendah mungkin agar bisa dijangkau kebanyakan siswa didik. Ketika itu biayanya hanya Rp 10 ribu/bulan tiap siswa.