Krtnews.id | Ethiopia akhirnya menyalakan Pembangkit Listrik raksasa sungai Nil yang kontroversial dan mulai menghasilkan listrik untuk pertama kalinya pada Minggu (20/2/2022), menurut TV pemerintah.
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dari bendungan di Sungai Nil itu merupakan bagian dari proyek senilai 4,2 miliar dollar AS (Rp 60 triliun).
Baca Juga:
Mega Proyek PLTA Jatigede Rampung, Siap Suplai Listrik ke Jawa-Bali
Itu terletak di wilayah Benishangul-Gumuz barat, dan telah menjadi sumber perselisihan antara Ethiopia, Mesir dan Sudan sejak pembangunannya dimulai pada 2011.
Sudan dan Mesir khawatir proyek itu dapat mengurangi bagian mereka di perairan Nil. Sementara Ethiopia menegaskan bendungan itu adalah kunci untuk pengembangannya.
Disebut Grand Ethiopian Renaissance Dam (Gerd), Pembangkit Listrik Raksasa Sungai Nil ini juga merupakan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di Afrika hingga saat ini.
Baca Juga:
100 Tahun Beroperasi, PLTA Bengkok Jadi Bukti Perjalanan Panjang PLN Gunakan EBT
Gerd diharapkan dapat menghasilkan lebih dari 5.000 megawatt listrik, menggandakan output listrik negara ketika selesai sepenuhnya.
Saat ini sudah 83,9 persen selesai, menurut laporan saluran ETV News milik negara pada Minggu (20/2/2022) dilansir BBC.
Pemerintah Ethiopia bersikeras akan mengubah ekonomi nasional, yang telah rusak parah oleh kekeringan dan perang, ketika PLTA Gerd beroperasi penuh.
Seorang juru bicara kantor Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed menyebutnya sebagai "hari monumental bagi Ethiopia".
Namun pembangunan bendungan telah menyebabkan perselisihan dengan Mesir dan Sudan.
Ethiopia telah mengalihkan air Nil untuk mengisi reservoir besar di belakang bendungan.
Mesir, yang terletak di hilir dan hampir sepenuhnya bergantung pada Sungai Nil untuk irigasi dan air minum, khawatir hal ini akan mempengaruhi tingkat air yang mengalir ke negara itu.
Karena itu, ia menginginkan jaminan sejumlah volume air yang masuk ke Mesir.
Tetapi Ethiopia enggan bersepakat terikat pada angka tertentu untuk banyaknya air yang akan dilepaskan, karena prioritasnya adalah memastikan ada cukup air untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika.
Sudan juga khawatir tentang bagaimana bendungan itu akan mempengaruhi ketinggian airnya. Tahun lalu, Sudan terkejut ketika Ethiopia memutuskan untuk menutup tiga dari empat pintu pengalihan air.
Hal itu menyebabkan tingkat air yang lebih rendah mengalir ke hilir dan mengganggu stasiun pompa Sudan untuk irigasi dan pasokan air kota.
Kedua negara telah berlomba-lomba untuk mencapai kesepakatan dengan Ethiopia mengenai pengisian dan pengoperasian bendungan itu, tetapi negosiasi gagal mencapai kemajuan. [jat]