Tambangnews.id | Sejak zaman Orde Baru, dari sisi ekonomi pemerintah memperlakukan sektor pertambangan sebagai salah satu sektor penyumbang pendapatan terbesar negara.
Sementara dari sisi politik sebagai sumber pembiayaan politik rezim. Sayangnya, perlakuan tersebut nyaris tidak berubah hingga hari ini.
Baca Juga:
Kalbar Ajak Masyarakat Tanam Pohon Bernilai Ekonomis
Bertahun-tahun, upaya pemerintah dalam membenahi sektor pertambangan selalu hanya fokus pada aspek perizinan, namun terus abai pada kelestarian lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal.
Hal ini jelas hanya sekadar memperbesar kadar hubungan simbiosis mutualisme antara pemerintah dan pemilik modal sektor pertambangan. Tidak ada yang berubah dari dulu.
Sudah bukan rahasia lagi jika di Sulawesi, misalnya, penolakan dan tuntutan dari masyarakat lokal serta aktivis lingkungan hidup terhadap aktifitas perusahaan tambang sering terjadi terutama di kantong-kantong pertambangan nikel.
Baca Juga:
Ketua Umum Kerah Biru Soroti Kontraktor Nakal di Kawasan PT. IMIP Morowali, Perusahaan Enggan Berkomentar
Akan tetapi hal ini nyaris tidak pernah mendapat atensi, baik dari pemerintah pusat maupun dari perusahaan terkait.
Bahkan Walhi belum lama ini merilis laporan yang menyorot secara kritis sikap dan kecenderungan kebijakan dari perusahaan-perusahaan tambang nikel yang abai pada kepentingan masyarakat lokal serta kepentingan kelestarian lingkungan.
Salah satu perusahaan pelat merah yang sering disorot adalah PT Vale Indonesia, penguasa tambang nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan, juga pemilik konsesi di Morowali Sulawesi Tengah, dan Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Sementara salah satu perusahaan swasta besarnya adalah IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park), pengelola kawasan ekonomi khusus pengolahan bijih nikel di Morowali, Sulawesi Tengah.
Namun dengan berbagai reaksi diplomatis, sorotan kritis tersebut akhirnya hilang begitu saja tanpa tindak lanjut yang jelas.
Lalu di penghujung tahun, perusahaan-perusahaan tersebut dengan bangga mengumumkan keuntungan besar dalam laporan yang dipoles secara mewah di tengah-tengah isu lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal yang belum benar-benar terjawab.
Selama ini, pemerintah hanya melakukan intervensi jika situasi merugikan kepentingan pemerintah pusat atau kepentingan pemilik modal besar.
Sementara saat masyarakat lokal dan aktivis lingkungan mengemukakan aspirasi, baik tuntutan atau penolakan, pemerintah lebih banyak lepas tangan dan menyerahkan penyelesaian kepada para pihak melalui jalur ‘kekeluargaan’/musyawarah mufakat.
Jalur ini biasanya selalu tunduk pada hegemoni kapitalis yang berakhir dengan meredupnya aspirasi tanpa ada solusi nyata.
Sebut saja intervensi pemerintah dalam kebijakan hilirisasi yang memaksa penambang menghentikan aktifitas ekspornya dan menjual nikelnya ke smelter-smelter domestik.
Namun naasnya, penghentian ekspor nikel mentah bagi penambang lokal memiliki arti kehilangan margin keuntungan yang signifikan karena harga di pasar global jauh lebih tinggi ketimbang harga beli smelter lokal.
Sementara pemerintah tidak berdaya menghadapi oligarki smelter penentu harga.
Tata kelola seperti ini jelas sangat merugikan penambang lokal dan hanya menguntungkan para pemilik smelter, yaitu para pemodal dari luar yang berbagi keuntungan dengan jejaring pemilik modal domestik yang mendapat konsesi khusus dari pemerintah.
Menjadi tidak menguntungkan bagi Indonesia karena biasanya smelter hanya melakukan proses penambahan nilai nikel sekadarnya di Indonesia untuk diekspor kembali ke negara asal para investor smelter.
Artinya, Indonesia rugi dua kali. Pertama, penambang lokal kehilangan kesempatan mendapatkan harga yang tinggi karena harus menjual nikel mentah dengan harga rendah.
Kedua, pemilik smelter mengantongi keuntungan besar dari aktifitas penambahan nilai nikel yang akan dibawanya kembali ke perusahaan induknya di negara asalnya dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Jadi di tataran realitas, tata kelola mineral yang ada sekarang bukanlah perkara mendukung nilai tambah industri nasional, tapi justru menjadi perkara penghentian nilai ekonomi yang selayaknya dinikmati penambang-penambang lokal di satu sisi dan perkara memperkaya pemilik modal besar, baik dari luar negeri maupun domestik, di sisi lain.
Di sini terlihat jelas bahwa pemerintah menarasikan tujuan yang mulia dangan mengambil posisi berdiri yang merugikan masyarakat lokal sehingga tujuan mulianya justru dirasakan oleh pihak yang salah.
Dari sisi kelestarian lingkungan juga berlangsung kondisi lebih dramatis. Para pelaku perjalanan trans Sulawesi akan dengan mudah menemukan pemandangan laut yang dulunya biru kini telah berubah warna menjadi kecolekatan dan keruh akibat tercemar lumpur erosi yang dibawa dari lahan-lahan bekas tambang nikel di daerah Konawe Utara.
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Riset Walhi Sulawesi Tengah menyatakan bahwa hampir seluruh wilayah pesisir Kecamatan Bungku Timur, Bahodopi, dan Bungku Pesisir telah tercemar limbah penambangan nikel.
Sisa galian ore kemudian mengendap menjadi lumpur di dasar laut dan mencemari ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan ekosistem laut di tiga kecamatan tersebut.
Bahkan limbah tersebut terbawa arus sampai ke wilayah pulau-pulau kecil di Kecamatan Bungku Selatan.
Nyaris tidak ada kegiatan rehabilitasi lahan tambang yang dilakukan oleh perusahaan, pun nihil tindakan dari pemerintah.
Tangkapan nelayan berkurang drastis, dan karena tidak berdaya mereka terpaksa berpindah ke tempat yang lebih jauh untuk mendapatkan ikan.
Ini artinya biaya melaut lebih besar dan risiko keselamatan yang lebih tinggi bagi mereka.
Eksploitasi nikel yang hanya menguntungkan pemilik smelter dan merugikan penambang lokal, juga telah secara masif merusak lingkungan yang telah berimbas kepada kehidupan ekonomi masyarakat setempat.
Semua ini akan menjadi masalah bagi generasi selanjutnya dan beban bagi pemerintah periode berikutnya.
Pemerintah memiliki mimpi besar atas komoditas nikel, pun upaya untuk mendorong itu sangat masif.
Namun di sisi lain pemerintah gagal menunjukkan komitmen dan keberpihakan pada kepentingan ekonomi masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan.
Sementara itu, Indonesia saat ini disebut-sebut memiliki cadangan nikel terbesar di dunia yang tersebar mayoritas di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa sepanjang 2019 lalu Indonesia menjadi produsen bijih nikel terbesar di dunia. Republik ini memproduksi 800.000 ton nikel dari total 2,67 juta ton produksi global.
Namun dari perspektif kepentingan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan, masifnya aktifitas tambang nikel di Sulawesi lebih terlihat sebagai kutukan bagi masyarakat setempat.
Kutukan yang merusak ekosistem kehidupan alami di tanah yang telah mereka tinggali secara turun temurun, yang kemudian berimbas pada penghidupan ekonomi masyarakat lokal.
Celakanya, pemerintah bergeming. Yang tampak hanya pembiaran dan keinginan untuk menikmati keuntungan ekonomi sesaat semata.
Tak terdengar ada rencana intervensi besar-besaran untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat setempat dan kepentingan kelestarian lingkungan yang akan menjamin masa depan kehidupan generasi mendatang.
Generasi yang juga seharusnya memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari tanah airnya yang katanya kaya dengan aneka sumber daya alam dan salah satu lokasi strategis paru-paru dunia. Sayang sekali. [jat]