Tambangnews.id | Harga komoditas batu bara makin tidak terbendung menyentuh US$271 per metrik ton seiring dengan potensi konflik yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina.
Bursa ICE Newcastle sempat mencatat harga komoditas batu bara menyentuh level tertinggi sepanjang masa sebesar SU$272,5 per metrik ton pada 5 Oktober 2021.
Baca Juga:
Ratu Batu Bara Tan Paulin Diperiksa KPK di Kasus Rita Widyasari
Rekor itu tercipta di saat dunia sedang menghadapi krisis energi tahun lalu. Bursa menutup perdagangan Kamis (24/2/2022) dengan penguatan 1,80 poin menjadi US$239,50 per metrik ton untuk kontrak spot.
Sebaliknya, kontrak Maret mengalami peningkatan cukup tajam yakni 33,85 poin pada level US$271 per metrik ton.
Penguatan ini juga terjadi untuk kontrak bulanan hingga akhir tahun. Pada April 2022, bursa memperdagangkan batu bara pada harga US$247 per metrik ton atau melonjak 34,90 poin.
Baca Juga:
KPK Ungkap Eks Bupati Kukar Dapat US$5 per Matrik Ton dari Perusahaan Batu Bara
Kemudian kontrak Mei diperdagangkan pada US$228 per metrik ton atau naik 33,40 per metrik ton.
Penguatan harga ini terjadi setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menetapkan operasi militer khusus ke Ukraina sejak Kamis (24/2/2022). Situasi ini menyebabkan ketidakpastian pada komoditas energi.
Tidak hanya batu bara, minyak dan gas ikut terkerek akibat situasi ini.
Statista mencatat pada 2020, Rusia memproduksi setidaknya 638,5 juta meter kubik gas, produsen gas kedua terbesar setelah Amerika Serikat sebesar 914,62 juta meter kubik.
Eropa menjadi salah satu konsumen terbesar pasokan gas dari Negara Beruang Merah. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut kondisi ini akan menjadi durian runtuh alias windfall bagi Indonesia dengan penguatan pada harga komoditas.
“Secara otomatis ke depan PNBP [pendapatan negara bukan pajak] akan meningkat. Kemudian juga dari sisi pajak akan mengalami kenaikan,” katanya kepada Wartawan, Kamis (24/2/2022).
Kondisi ini diharapkan dapat dijadikan momentum untuk mencapai target lifting serta produksi tahunan maupun hingga 2030.
Selain itu, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dapat berlomba untuk meningkatkan pengeboran sehingga dapat menjaga maupun meningkatkan produktifitas mereka.
Selain itu, kegiatan penerapan teknologi enhanced oil recovery atau EOR juga perlu segera dipacu untuk mencapai target lifting migas 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.
“Serta kegiatan eksplorasi saya harapkan bisa tumbuh [di tengah penguatan harga komoditas,” terangnya.
Di sisi lain, ketegangan di Eropa Timur akan memberi pukukan bagi sektor hilir. Dari penguatan harga migas dunia, beban subsidi akan naik akibat harga minyak penguat.
Kondisi ini juga akan berdampak pada peningkatan Indonesian crude price (ICP). Beban subsidi ini tidak hanya terjadi pada sektor kelistrikan, akan tetapi turut terjadi pada sektor bahan bakar.
Bila situasi ini terus terjadi bukan tidak mungkin akan terjadi kenaikan inflasi.
“Pastinya Pertamina akan semakin terpukul kalau misalnya Pertamax dan Pertalite tidak dinaikan. Kecuali pemerintah mau memberikan kompensasi menjadi 100 persen. Kalau kita lihat dari Perpres 117/2021 hanya 50 persen [dikompensasi] itupun dengan komposisi campur Premium,” terangnya. [jat]