Tambangnews.id | Sejumlah komoditas logam diyakini masih memiliki prospek yang solid. Hal tersebut bakal bertranslasi pada meningkatnya kinerja emiten pertambangan logam.
Desy Israhyanti, Analis Pilarmas Investindo Sekuritas menilai, komoditas nikel menjadi primadona untuk sektor tambang logam.
Baca Juga:
Pacu Kreativitas Mahasiswa Indonesia, PLN Gelar Kompetisi Membangun Gokart Listrik
Selain karena potensi cadangan nikel Indonesia yang melimpah, sentimen untuk nikel juga datang dari pengembangan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) seiring dengan komitmen Paris Agreement untuk mengurangi dampak emisi ke lingkungan.
Di samping itu, pembangunan proyek hilirisasi melalui pembangunan smelter yang sedang digalakkan pemerintah memiliki nilai tambah dan multiplier effect ke depannya.
“Kami melihat dukungan pemerintah dalam mengembangkan ekosistem baterai mobil terbesar di dunia semakin serius dengan melarang ekspor nikel, bauksit dan akan diikuti oleh tembaga dan timah pada tahun berikutnya,” terang Desy kepada wartawan, Kamis (19/5).
Baca Juga:
Pacu Kreativitas Mahasiswa Indonesia, PLN Gelar Kompetisi Membangun Gokart Listrik
Terlebih, Tesla yang merupakan produsen kendaraan listrik terbesar di dunia, terkonfirmasi akan berinvestasi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah untuk pembuatan baterai mobil listrik dan mobilnya.
“Sehingga, industri logam sangat prospektif, dimana sejalan dengan rencana kerja pemerintah,”sambung Desy.
Sementara untuk komoditas emas, Desy melihat komoditas ini bakal outperform di kala pasar sedang bergejolak (crash), namun sifatnya hanya sementara.
Saat ini, Desy melihat kondisi inflasi yang tinggi bukan menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat untuk membeli emas sebagai instrumen safe haven, kecuali untuk diversifikasi aset.
Sebab fundamental ekonomi dalam negeri yang solid tidak akan menimbulkan gejolak layaknya awal pandemi.
Senada, analis Bahana Sekuritas Timothy Wijaya menilai, prospek komoditas nikel akan cukup solid.
Selain dari pengembangan EV, permintaan logam nikel juga datang dari industri baja anti karat atau stainless steel.
Sementara untuk emas, Timothy menyebut saat ini terdapat kekhawatiran dimana beberapa bank mulai menjual emas dan mengganti dengan dollar Amerika Serikat (AS).
Ini karena mata uang negeri Paman Sam tersebut sedang mengalami penguatan yang cukup signifikan dengan adanya peningkatan suku bunga.
“Terlihat dari harga emas yang menurun dan juga US dollar index (DXY) yang terus naik. Harga emas kiranya bisa stabil di level US$ 1.850 per oz untuk tahun ini,” terang Timothy.
Desy menilai, kinerja INCO dan MDKA akan lebih solid tahun ini. Sebab, INCO dan MDKA berkutat di bisnis pertambangan logam nikel yang permintaannya dalam tren meningkat serta adanya kenaikan harga.
Adapun sejumlah saham tambang yang menarik untuk dikoleksi menurut Desy yakni INCO dengan target harga Rp 7.448, TINS dengan target harga Rp2.370, dan MDKA dengan target harga Rp 5.500.
Timothy juga menilai, INCO memiliki prospek yang menarik. Selain karena proses pemeliharaan atau maintenance furnace 4 yang sebentar lagi rampung, INCO juga cukup sensitif terhadap pergerakan harga nikel.
“Jadi, jika nikel berada di level saat ini yakni di US$ 26.000 per ton, tentunya yang paling menikmati dari peningkatan harga tersebut adalah INCO, karena memang 100% pendapatan INCO berasal dari penjualan nikel,” terang Timothy. [jat]