Tambangnews.id | Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mengevaluasi wilayah tambang batu bara hasil penciutan lahan PT Kaltim Prima Coal untuk ditetapkan menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) atau Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Sedangkan, saat ini sebagian wilayah PT Arutmin Indonesia dikabarkan telah diusulkan menjadi WIUPK.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Sebagai informasi, pada 2020 Pemerintah memberikan perpanjang kontrak pertambangan batu bara kepada Arutmin berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di mana berdasarkan hasil evaluasi pemerintah, luasan lahan tambang Arutmin dipangkas hingga 40,1% dari luas wilayah sebelumnya 57,107 hektar.
Adapun pada Maret 2022 wilayah tambang PT Kaltim Prima Coal juga telah mendapatkan perpanjangan kontrak dengan diberikannya IUPK dan pemerintah menciutkan lahan KPC sekitar 27,54% dari luas wilayah semula 84.938 hektar.
Plt. Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Sunindyo Suryo Herdadi menjelaskan, saat ini untuk wilayah eks PKP2B Kaltim Prima Coal sedang dalam tahap evaluasi untuk ditetapkan menjadi WIUPK atau WPN.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
“Adapun sebagian wilayah eks Arutmin telah diusulkan untuk menjadi WIUPK,” jelasnya, Kamis (16/6).
Lantas, setelah WIUPK ditetapkan, Sunindyo mengatakan sesuai ketentuan perundangan bahwa wilayah tersebut akan ditawarkan terlebih dahulu secara prioritas kepada BUMN dan BUMD.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno berpesan, dalam proses setelah terjadinya penciutan lahan harus segera dilakukan pengamanan terhadap lahan-lahan tersebut sebelum dilakukan proses lelang kembali.
“Karena diperkirakan dalam prosesnya, mulai dari melakukan lelang dan penetapan hasil lelang, kemudian diberikan kepada pemenang lelang yang bersangkutan membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun. Sedangkan dalam kurun waktu tersebut banyak hal yang bisa terjadi,” jelas Eddy saat dihubungi terpisah.
Dalam dua tahun tersebut, Eddy menjelaskan, hal yang kerap terjadi adalah masuknya penambang ilegal ke lahan yang sudah tidak dikerjakan lagi oleh penambang lama serta tidak diawasi pemerintah selama pelaksanaan lelang tersebut.
“Oleh karenanya, perlu ada payung hukum untuk mengatur pengamanan itu, seperti apa koordinasinya dengan pemerintah daerah,” ujarnya.
Menurut Eddy, memang paling baik adalah berkoordinasi dengan pemerintah daerah karena mereka memiliki kemampuan pengamanan.
Maka itu, harus ada pengawasan pengamanan dan kerja sama dengan Pemerintah Daerah setempat.
Hal ini juga disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Penambang Batu bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia bahwa menurut informasi yang diketahuinya, sejauh ini lahan eks PT Arutmin Indonesia yang dilepas (diciutkan) dan dikembalikan ke Pemerintah belum ada kabar terbaru apakah mau dilelang atau diberikan ke BUMN.
“Makanya banyak kegiatan PETI dilakukan di wilayah tersebut,” ujarnya.
Sedangkan, lanjut Hendra, untuk eks-wilayah PT Kaltim Prima Coal, kabarnya juga kegiatan pertambangan di sana masih relatif lebih aman. [jat]