Tambangnews.id | Kementerian ESDM membeberkan alasan dibalik proses pencabutan izin tambang yang belakangan ini banyak dipertanyakan, terutama oleh para pelaku usaha tambang.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa semua proses perizinan saat ini telah terpusat di Kementerian Investasi/BKPM melalui pelayanan Online Single Submission (OSS). Namun, dalam konteks pencabutan izin tambang, terdapat Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Melalui Keppres tersebut, Presiden Joko Widodo membentuk Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Adapun, dalam proses pembentukan Satgas tersebut, ketua Satgas adalah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, sementara Menteri ESDM Arifin Tasrif sebagai Anggota.
"Yang mencabut ini satgas di mana satgas ini ketuanya Menteri Investasi. Jadi, mekanisme pencabutan melalui satuan tugas yang telah dibentuk," kata Ridwan dalam RDP bersama Komisi VII, Kamis (31/3/2022).
Sebelumnya, Pelaku usaha dibuat bingung atas kebijakan yang telah dibuat pemerintah dalam proses pencabutan izin tambang. Terlebih, kebijakan yang dikeluarkan tersebut bertentangan satu sama lain antar Kementerian.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menjelaskan bahwa dasar hukum pencabutan perizinan pertambangan yang tidak berkegiatan telah diatur dalam pasal 119 UU No. 3/2020.
Adapun, izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dicabut oleh menteri jika perusahaan melanggar ketentuan sebagai berikut:
a. Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUP serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
c. Pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.
Kemudian, dasar hukum yang kedua yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 pasal 185. Dalam aturan tersebut, sanksi administratif berupa:
a. Peringatan tertulis
b. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan, eksplorasi, atau operasi produksi
c. Pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk penjualan.
Berikutnya, dasar hukum pencabutan lainnya adalah Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022. Melalui Keppres ini Presiden Joko Widodo membentuk Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Pasal 3 poin b memberikan rekomendasi kepada Kementerian Investasi atau kepala BKPM untuk melakukan pencabutan izin usaha pertambangan.
Sementara itu, jika merunut kembali pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Maka suatu regulasi subsektor mineral dan batu bara memberikan kepastian hukum, kemudahan berusaha dan investasi, dan pengutamaan kepentingan nasional.
Selain itu, Meidy menambahkan bahwa alasan IUP produksi yang belum melakukan kegiatan produksi karena adanya beberapa faktor, antara lain seperti terkendala pengajuan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dikarenakan tidak adanya kuota IPPKH.
Kemudian sedang melakukan kegiatan eksplorasi, sudah memiliki perjanjian kerja sama jaminan suplai untuk pabrik nikel olahan. Lalu, terkendala perizinan pelabuhan, terkendala pembebasan lahan dengan masyarakat pemilik lahan, dan kelengkapan dokumen RKAB. [jat]