Tambangnews.id | Aksi penambangan cryptocurrency di Kazakhstan dilaporkan telah membuat krisis energi di negara tersebut. Akibatnya, enam wilayah di negara itu mengalami pemadaman listrik sejak Oktober.
Berdasarkan laporan Financial Times, kebutuhan listrik di Kazakhstan meningkat hingga 8 persen sejak awal 2021. Padahal, peningkatan listrik di negara tersebut biasanya hanya terjadi sekitar satu atau dua persen setiap tahunnya.
Baca Juga:
6 Tips Cara Trading Bitcoin untuk Pemula, Dijamin Untung!
Dalam laporannya disebutkan pula saat ini ada sekitar 87.849 rig penambangan yang pindah dari Tiongkok ke Kazakhstan. Karenanya, menurut data University of Cambridge, Kazakhstan kini negara nomor dua dengan tambang crypctocurrency terbanyak, setelah Amerika Serikat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, seperti dikutip dari Engadget, Senin (29/11/2021), operator penyedia listrik di Kazakhstan akan menjatah listrik yang dapat digunakan para penambang cryptocurrency terdaftar. Selain itu, layanan listrik mereka juga akan yang pertama diputus apabila terjadi masalah.
Kazakhstan juga tengah berupaya menggandeng perusahaan energi Rusia untuk menambah kebutuhan listrik nasionalnya. Lalu, para penambang yang terdaftar juga dibebankan biaya kompensasi tambahan mulai 2022.
Baca Juga:
Ternyata Sebesar Ini Ongkos Menambang 1 Bitcoin di RI, Masih Cuankah?
Sebagai informasi, peningkatan jumlah penambang cyrptocurrency di Kazakhstan disebut tidak lepas dari larangan pemerintah Tiongkok. Sejak Tiongkok melarang penambangan cryptocurrency, jumlah penambang yang berpindah ke Kazakhstan terus bertambah.
Salah satu alasan hal itu terjadi karena negara ini memiliki biaya listrik yang relatif murah, sehingga Kazakhstan menjadi surga bagi penambang yang ingin mendapat untung lebih besar.
Tiongkok Larang Kripto, Semua Platform Cryptocurrency Tutup Layanan
Sebelumnya, pasar cryptocurrency dibuat ketar ketir usai pemerintah Tiongkok melarang semua bisnis terkait mata uang kripto pada Jumat pekan lalu, termasuk proyek penambangan kripto.
People's Bank of China (PBC), dilansir Global Times, Senin (27/9/2021), mengatakan mata uang virtual tidak memiliki status tender yang sah. Ini membuat mata uang kripto seperti Bitcoin, tidak bisa beredar sebagai mata uang yang sah.
PBC menambahkan semua bisnis terkait cryptocurrency adalah ilegal, termasuk transaksi antara mata uang kripto atau virtual dan menyediakan layanan perdagangan sebagai agen.
Pertukaran perdagangan kripto luar negeri yang memberikan layanan kepada penduduk domestik melalui internet pun juga dilarang.
"Semua kegiatan keuangan ilegal dilarang keras dan akan dihilangkan sesuai dengan hukum," kata PBC.
Jasa Pertukaran Tutup Layanan
Kebijakan itu pun membuat beberapa layanan pertukaran kripto (platform cryptocurrency) dengan basis pengguna yang besar di daratan utama Tiongkok seperti Huobi, menangguhkan pendaftaran pengguna baru di wilayah itu.
Huobi pun dilaporkan berencana meninggalkan pasar di negeri tirai bambu secara penuh akhir tahun ini. Sementara itu, Binance juga dilaporkan menghentikan pendaftaran baru untuk pengguna Tiongkok daratan.
Pada Minggu kemarin, Huobi Global menyatakan bahwa penghentian layanan mereka sejalan dengan kebijakan pemerintah. Mereka akan menghapus pendaftaran pengguna dengan identitas warga Tiongkok daratan pada akhir tahun 2021.
Selain PBC, 10 departemen pemerintah, termasuk Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi, serta Kementerian Keamanan Publik, juga sepakat bahwa penambangan mata uang kripto adalah sektor yang harus dibasmi.
"Ini menunjukkan tekad kuat PBC untuk melarang semua mata uang kripto untuk melindungi mata uang negara, yuan, dan memutus sistem keuangan China dari pasar kripto demi menangkis risiko keuangan," kata sumber anonim dalam industri kepada Global Times. [jat]