KRTNews.id | Presiden Joko Widodo pernah menjabat sebagai wali kota di daerah yang terletak di Jawa Tengah ini. Uniknya kota ini dikenal dengan ciri khasnya yang memiliki dua nama sekaligus, yaitu Solo dan Surakarta.
Solo atau Sala sebenarnya dikenal lebih dulu oleh masyarakat ketimbang Surakarta. Ini disebabkan Surakarta didirikan di sebuah desa bernama Sala, di tepi Sungai Solo.
Baca Juga:
Destinasi Hits Terbaru Indonesia, 5.000 Wisatawan Serbu IKN Setiap Hari
Dikutip dari situs Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta pada Jumat (25/11/2022), Desa Sala dipilih oleh Sultan Pakubuwono II saat ingin mendirikan istana baru, tepatnya setelah perang Mataram terjadi di Kartasura.
Pelafalan Sala Berubah Menjadi Solo
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof Warto, kedatangan Belanda menyebabkan penyebutan Sala berubah menjadi Solo. Ini dikarenakan, pelafalan huruf "a" berubah menjadi "o".
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
"Dengan huruf 'a', ingat huruf Jawa 'o' dan 'a' punya perbedaan yang sangat penting. Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau di-taling-tarung jadi 'o' makanya So-lo gitu. Dan, alasannya Sala jadi Solo karena orang Belanda susah ngomong Sala," katanya dikutip dari laman resmi UNS.
Perbedaan Sala, Solo dan Surakarta
Adapun, perbedaan antara Sala dan Surakarta yakni, Sala merupakan desa yang ditempati untuk Keraton Surakarta Hadiningrat. Sementara itu, Surakarta merupakan nama kerajaan Kartasura setelah pindah ke Desa Sala.
Guru Besar Ilmu Sejarah UNS itu memaparkan bahwa perbedaan antara Sala dan Surakarta hanya pada istilahnya dan tidak mengubah substansi.
"Perbedaan istilah tidak mengubah substansi, ya tetap sama," kata Prof Warto.
Kini, penyebutan Surakarta sebagai nama keraton berubah sebagai nama resmi kota administratif. Sehingga untuk nama resmi, penulisan yang benar adalah Kota Surakarta.
Sementara itu, penyebutan Solo atau Sala menjadi nama yang populer atau umum digunakan oleh masyarakat.
Sejarah Kota Solo
Dahulu, Solo disebut sebagai desa terpencil, tenang, dan hanya berjarak 10 km ke timur dari Kartasura, pusat Kerajaan Mataram pada kala itu.
Prof Warto menjelaskan bahwa Kota Solo yang sekarang adalah hasil dari perpindahan kerajaan Kartasura ke Desa Sala di tahun 1745. Dulunya, Desa Sala merupakan sebuah desa perdikan yang dipimpin oleh seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau Kiai Sala.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), desa perdikan merupakan desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah pusat pada zaman kerajaan.
Setelahnya, Desa Sala diubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat. Pemilihan lokasinya telah dipertimbangkan oleh Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan J.A.B van Hohendorff pasca kehancuran Keraton Kartasura.
Runtuhnya Keraton Kartasura disebabkan oleh tragedi Geger Pecinan, sebuah pemberontakan pada 1740 yang berhasil menghancurkan kerajaan tersebut. Walau begitu, Keraton Kartasura berhasil diambil alih dan segera memindahkan lokasi kerajaan.
Menurut Pakubuwono II, Keraton Kartasura telah kehilangan kesuciannya. Sehingga, muncullah inisiatif memindahkan kerajaan tersebut ke lokasi baru, yakni di Desa Sala.
Sayangnya, kejayaan kerajaan tersebut kian menurun. Bahkan, pada tahun 1757 berdiri sebuah kerajaan lain dari Mangkunegoro di pusat Solo, seperti disebutkan pada laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta.
Alih-alih bertempur, para bangsawan justru bersaing dalam hal kesenian dan budaya kerajaan. Hal ini terbukti dari paviliun gamelan yang jadi arena persaingan, masing-masing kerajaan saling berkompetisi.
Begitulah sejarahnya, mengapa Surakarta sering disebut sebagai Solo.(jef)