MAWAKA.ID | Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta pemerintah wajib menerbitkan regulasi khusus untuk mengatur pengangkatan Penjabat (Pj) Kepala Daerah guna menentukan efektivitas pemerintahan.
Rekomendasi ini merupakan salah satu Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) ORI terkait dugaan maladministrasi pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
Baca Juga:
Hak Masyarakat Tidak Terabaikan, Hasan Slamat: Perkuat Jaringan Pengawasan Terhadap Pelayanan Publik
"Fakta administrasi adalah bahwa pertama kali dalam sejarah kita, ada 271 Pj Kepala Daerah dan akan begitu lama seseorang menduduki jabatan kepala daerah. Karena durasinya lama, jumlahnya banyak, sepatutnya persiapan regulasi hingga operasional dilakukan secara khusus dan sistematis. Menjadi sesuatu yang imperatif, yang harus dilakukan, karena pemerintahan efektif atau tidak sangat ditentukan oleh proses bagaimana seseorang itu diangkat," kata Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng dalam siaran persnya, Selasa (19/7/2022).
ORI menilai pemerintah saat ini masih menganggap pengisian Pj Kepala Daerah sama dengan pengisian jabatan administratif biasa. Padahal Pj Kepala Daerah adalah jabatan yang berbeda karena dijabat dalam waktu yang lama.
"Kami melihat ada kesan seperti itu, seolah-olah seperti proses pengangkatan jabatan administrasi biasa," katanya.
Baca Juga:
Ombudsman Gorontalo Kunjungi Lapas Pohuwato Pastikan Kualitas Layanan Publik di UPT Kemenkumham
Selain itu, ORI menilai bahwa pemerintah harus memegang teguh asas democratic governance serta negara konstitusional dalam pengangkatan Pj Kepala Daerah.
"Kami melihat bahwa kedua prinsip ini yang sangat penting belum terlihat optimal dalam proses pengisian jabatan yang kurang terbuka, kurang transparan dan kurang partisipatif," kata Robert.
ORI menilai pengangkatan kepala daerah yang ada juga telah menjauh dari asas democratic governance.
Terkait keterbukaan informasi publik khususnya dalam hal mekanisme pengangkatan Pj Kepala Daerah, ORI menilai bahwa pengabaian permintaan informasi oleh Kemendagri melanggar Undang-Undang Pelayanan Publik.
"Kami melihat fakta administrasi tidak ditanggapinya permintaan informasi dan penyampaian keberatan terlapor ini bertentangan dengan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik," kata Robert. [jat]