MAWAKA ID | Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI menegaskan utang pemerintah masih terkendali. Data Kemenkeu mencatat, posisi utang pemerintah pada akhir Mei 2022 mencapai Rp 7.002,24 triliun, dengan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,88%.
Secara nominal, posisi utang pemerintah terjadi penurunan total outstanding dan rasio utang terhadap PDB dibandingkan dengan realisasi pada bulan April 2022 yang sebesar Rp 7.040,32 triliun.
Baca Juga:
Faisal Basri Ekonom Senior Meninggal Dunia
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Lucky Alfirman mengatakan, kondisi utang pemerintah saat ini masih dalam batas aman.
Hal ini dikarenakan didukung pengelolaan secara prudent dengan mempertimbangkan biaya dan risiko.
"Indikator risiko utang masih dalam batas aman dan terkendali. Rasio utang terhadap PDB sebesar 38,88% masih jauh di bawah batas aman yang ditentukan oleh Undang-Undang (UU), yaitu maksimal sebesar 60% dari PDB," ujar Lucky, Selasa (28/6).
Baca Juga:
Kemenkeu Apresiasi Pemanfaatan Dana Desa di Sumedang
Lucky mengatakan, ke depannya pemerintah akan terus berupaya mengendalikan penggunaan pembiayaan utang dengan cara melalui konsolidasi fiskal dengan mendorong defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali di bawah 3% mulai pada tahun 2023.
Untuk diketahui, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati defisit pada tahun 2023 berkisar 2,61% hingga 2,85% terhadap produk Domestik Bruto (PDB).
Penetapan tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi nasional yang sedang berjalan serta upaya untuk menjaga kesinambungan fiskal.
Selain itu, cara lainnya dalam mengendalikan utang adalah melakukan optimalisasi penggunaan pembiayaan non utang untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang.
Serta penggunaan blended financing sebagai alternatif pembiayaan untuk memberikan ruang fiskal yang lebih baik.
"Selanjutnya pemerintah akan melaksanakan pembauaran utang jatuh tempo dan kewajiban lainnya secara tepat waktu dan tepat jumlah, untuk menjaga kredibilitas pengelolaan utang dan menjaga pemerintah dari risiko default," katanya.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky mengatakan, meski utang pemerintah mengalami penurunan, namun ada beberapa risiko yang harus diperhitungkan.
Menurutnya, apabila peningkatan utang terus dilakukan maka biaya beban utang akan meningkat. Pasalnya terjadi pengetatan moneter dengan kenaikan suku bunga.
Sehingga ke depannya, perlu diwaspadai bahwa setiap penerbitan utang terutama yang didominasi oleh mata uang asing akan menghasilkan beban bunga utang yang lebih mahal.
Sementara itu, untuk mendorong penurunan utang pemerintah maka pemerintah juga perlu mendorong penerimaan negara.
Selain itu, hal lain yang perlu didorong adalah efisiensi dari sisi belanja. Riefky melihat masih banyak pos belanja yang masih kurang efisien.
Meski upaya tersebut tidak akan menghasilkan dampak di jangka pendek. Namun hal tersebut dapat dirasakan pada jangka menengah dan panjang.
"Itu yang perlu dilakukan untuk terus menurunkan rasio utang," kata Riefky. [jat]