MAWAKA.ID | Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong industri ekstraktif di Indonesia untuk lebih transparan sesuai prinsip tata kelola lingkungan, sosial dan perusahaan (ESG).
Itu dilakukan sebagai bagian komitmen Indonesia terhadap misi pembangunan berkelanjutan menuju era net zero emissions atau nol emisi karbon.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menjelaskan, ada manfaat baik jika perusahaan menerapkan transparansi ini.
Diantaranya bisa merasakan adanya hubungan baik dengan masyarakat dan secara bersamaan membuat operasional berjalan dengan baik pula.
Selain itu, transparansi merupakan mandat dari prinsip Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) dan konstitusi bahwa pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) perlu dipertanggungjawabkan kepada publik.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
“Di Indonesia kita sudah mendapat amanah yang luar biasa di konstitusi, di UU pasal 33. Kita diminta untuk mengelola SDA secara governance yang baik untuk kesejahteraan masyarakat di situlah kemudian kita selaras dengan prinsip EITI untuk bisa menerapkan. Sehingga bisa mempertanggungjawabkan yang dikelola terhadap SDA bahwa ini bukan milik kita sendiri, tetapi juga milik generasi kita ke depan. bagaimana kita mempertahankan industri ekstraktif ini, SDA ini agar bisa lebih bermanfaat,” kata Agus Cahyono Adi dalam sambutannya di acara Dialog Kebijakan EITI secara daring, Senin (12/9).
Ia juga menyebut bahwa saat ini ESG telah menjadi salah satu prasyarat bagi industri ekstraktif di Indonesia untuk mendapatkan izin mengelola SDA. Bahkan dengan pro dan kontranya pemerintah justru telah memangkas prosedur perizinan yang luar biasa.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah melakukan koordinasi dan supervisi terkait penerapan ESG. Agus menyebut, pihaknya pernah memberi hukuman hingga mencabut izin perusahan lantaran ketidakpatuhannya terhadap aturan.
“Terakhir kemarin setelah ada izin, dievaluasi, kok masih banyak yang tidak compliance (patuh). Kemudian dikasih punishment ada 2.078 dan ada beberapa tidak compliance kemudian ada yang diputus izinnya. Ini salah satu langkah untuk mengelola SDA yang lebih governance,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, dalam transparansi ini diperlukan adanya keterbukan belanja sosial dan belanja lingkungan yang dikeluarkan perusahaan.
Artinya dengan transparansi itu, perusahaan justru bisa menampilkan bagaimana kontribusinya dalam melindungi dan mengembangkan wilayah sekitar pertambangan sebagaimana mandat dari UU Minyak Gas (Migas) dan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Agus menjelaskan selain patuh terhadap aturan, transparansi juga memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan. Melalui transparansi itu, kata Agus, perusahaan justru bisa terlihat seberapa besar kepeduliannya terhadap sosial dan lingkungan.
“Serta melestarikan lingkungan kita. Termasuk ikut menjaga agar suhu bumi tidak meningkat sampai 1,5 derajat agar tidak terjadi potensi global warming. Kita sedang menuju era net zero emision karbon netral untuk bisa menjaga agar sustainable development ini terjaga dan pada akhirnya bisa mensejahterakan masyarakat di dunia ini dan prinsip dasarnya no one left behind,” tukasnya.
Alasan transparansi industri ekstraktif
Dalam webinar daring, Kepala Seksi Perlindungan Lingkungan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral ( ESDM ), Tias Nurcahyani memaparkan soal alasan mengapa transparansi industri estraktif penting dilakukan.
Sebab, kata Tias, perusahaan yang memanfaatkan SDA minerba itu erat kaitannya dengan pembukaan lahan dan memiliki dampak besar pada lingkungan dan sosial masyarakat.
“Minerba itu tentu tidak lepas dengan pembukaan lahan. Itu yang menjadi perhatian kita sehingga ada dampak lain ketika membuka. Ada emisi yang mungkin menyertainya, ada penggunaan alat berat, peningkatan emisi karena lahan-lahan dibuka imbas pohon yang dulu rimbun jadi berkurang. Dampak lain yaitu penurunan kualitas air tanah dan permukaan serta penurunan kualitas udara,” jelas Tias.
Oleh sebab itu, terkait pemanfaatan sumber daya alam industri ekstraktif diminta melakukan pengelolaan lingkungan berupa reklamasi dan pascatambang.
Adapun dasar hukum itu diatur UU Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan dan minerba. Kemudian diubah menjadi UU nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas uu nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan minerba.
Tias menyebut, kewajiban reklamasi dan pascatambang sudah dimulai pada saat eksplorasi hingga pascatambang.
“Artinya pada saat proses eksplorasi, mungkin pemegang izin masih belum membuka terlalu luas sudah dikenakan kewajiban reklamasi. Juga ada kewajiban untuk pengelolaan lingkungan disaat eksplorasi agar pengelolaan dapat dijalankan dengan baik sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Tias.
Menurut Tias, program pascatambang perlu mengedepankan aspek sosial selain reklamasi. Seperti pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
Meski begitu, tidak sembarang program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang bisa dilakukan. Menurutnya, program itu perlu disusun berdasar masukan saat konsultasi publik.
“Soal pengembangan dan pemberdayaan masyarakat ini harus disusun berdasarkan masukan saat konsultasi publik. Karena ada aspek sosial di situ yang harus dijaga, sehingga ketika kegiatan tambang berakhir, kegiatan perekonomian dan lingkungan tetap sustain. Itulah konsep dari reklamasi dan pascatambang dan ada program pemeliharaan dan pantauan hingga program pascatambang itu berakhir,” pungkasnya.
Sementara itu, dalam sesi tanya jawab salah satu perwakilan dari PT Antam Tbk Berry Parenusa mengatakan kewajiban transparansi dengan prinsip ESG cenderung hanya dibebankan kepada perusahaan tambang yang mendapat IUP dari Kementerian ESDM.
Sedangkan industri pengolahan tambang yang berada di bawah Kementerian Perindustrian seperti tidak dibebankan.
Berry mendorong adanya peraturan turunan dari UU Minerba yang juga mengatur soal publikasi aspek ESG untuk mereka.
“Yang dimintakan report dan penyusunannya (publikasi ESG) itu pemilik IUP yang notabenen nambang aja di bawah ESDM, padahal industri ekstraktif sebenarnya dampaknya lebih besar karena mereka melakukan peleburan, pemurnian, membangun pembangkit listrik tenaga uap sendiri,” kata Berry.
Terkait itu, pihak ESDM menjawab bahwa seluruh industri ekstraktif diwajibkan untuk menerapkan transparansi berprinsip Enviromen, Social, and Governance (ESG). [jat]