Martabat.WahanaNews.co | Sejumlah pasal yang dinilai 'antidemokrasi' di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diduga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) karena rezim penguasa membutuhkan tameng.
"Saya menduga bahwa keberadaan pasal antidemokrasi yang masih dipertahankan oleh pemerintah hari ini merupakan bagian bahwa pemerintah itu sadar bahwa kinerjanya itu buruk," ujar Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin dalam konferensi pers Aliansi Masyarakat Sipil desak penghapusan pasal bermasalah dalam RKUHP secara daring, Minggu (20/11).
Baca Juga:
Densus 88 Belum Bisa Pastikan Motif Bom Polsek Astanaanyar Terkait KUHP
"Karena sadar akan buruknya kinerja pemerintah hari ini, maka pemerintah membutuhkan tameng untuk melindungi dirinya yaitu dengan masih mempertahankan pasal-pasal antidemokrasi dalam RKHUP," imbuhnya.
Zainal juga menegaskan pihaknya mengkritisi masih bercokolnya pasal-pasal yang dinilai berpotensi melakukan penyempitan ruang demokrasi dalam RKUHP terbaru yakni pasal 218, 219, dan 240. Mereka menilai keberadaan pasal bermasalah itu membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah abai terhadap masukan masyarakat sipil.
Sebagai informasi dalam draf RKUHP terbaru, Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Baca Juga:
Aliansi Mahasiswa Kenang 5 Korban Aksi RKUHP 2019, Nyalakan Lilin di Depan Gedung DPR
Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa.
Pasal 219 menyatakan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan/atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dapat dipidana dengan penjara maksimal empat tahun atau denda maksimal Rp200 juta.
Lalu, Pasal 240 menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Diberitakan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menyerahkan draf RKHUP ke Komisi III DPR pada Rabu (9/11) lalu.
Rencananya, Komisi III DPR bakal mengambil keputusan tingkat I untuk RKUHP pada 22 November 2022, tetapi rencana tersebut batal.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari atau Tobas mengatakan pemerintah memutuskan batal menggelar rapat pembahasan RKUHP bersama Komisi III DPR pada 21-22 November 2022.
"Rapat pembahasan RKUHP 21-22 November ditunda," kata Tobas lewat pesan singkat, Minggu (20/11).
Namun, Tobas tidak menjelaskan alasan pemerintah membatalkan rapat tersebut.
Sementara itu, pada Rabu (9/11) lalu di kompleks parlemen, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy mengatakan ada 69 item perubahan dan penghapusan lima pasal di dalam draf terbaru RKUHP.
"Naskah 9 November, ada 69 item perubahan, ada penghapusan 5 pasal, jadi dari 632 jadi 627. Jadi lima pasal dihapus. Kemudian ada yang reformulasi, reposisi, ada yang dihapus, dan juga ada pasal yang ditambahkan," kata Eddy kala itu.
Dia menerangkan, 53 pasal yang masuk di draf terbaru RKUHP merupakan masukan publik. Menurutnya, masukan masyarakat dari sosialisasi di 11 kota terangkum dalam empat poin. [tum]