WahanaNews-Martabat | Hasyim Asy'ari, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyebutkan bahwa uang elektronik hingga jasa transportasi masuk ke dalam laporan dana kampanye yang harus dihitung.
"Bagaimana kalau bentuk sumbangan kampanye itu seperti uang elektronik (e-money), memberikan bantuan sound system misalkan, kemudian transport? Ini kan bagian transport menyediakan mobil, itu kan jasa. Dalam laporan dana kampanye, itu semua harus dirupiahkan, sehingga dihitung," ujar Hasyim dalam acara Verifikasi Administrasi Bacaleg RI di Hotel Gran Melia, Jakarta, Senin (29/5/2023) melansir Antara.
Baca Juga:
Pengeluaran Kampanye: Ganjar-Mahfud Rp506 M, Prabowo-Gibran Rp207 M, AMIN Rp49 M
Menurut dia, dana kampanye memiliki batasan nominal yang dapat disumbangkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun setiap dana sumbangan yang masuk harus dilaporkan dengan jujur dan dalam bentuk apa saja.
Hasyim memberikan contoh, seperti sumbangan perorangan, korporasi, atau dari perkumpulan masyarakat baik dalam bentuk uang atau sumbangan dengan jenis jasa. Untuk itu, KPU menyederhanakan dana kampanye menjadi dua jenis.
"Laporan awal dana kampanye dan laporan akhir dana kampanye. Laporan akhir dana kampanye itu meliputi, penerima dana kampanye dan pengeluaran dana kampanye," katanya.
Baca Juga:
Caleg Bondowoso Berencana Jual Ginjal Demi Biaya Kampanye Pemilu 2024
Jumlah maksimal sumbangan dana kampanye untuk Pemilu Presiden, Wakil Presiden, DPR dan DPRD serta DPD diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu.
Pertama, batasan dana kampanye untuk presiden dan wakil presiden tertuang dalam Pasal 10. Dana kampanye pemilu presiden dan wakil presiden yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan paling banyak bernilai Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) selama masa kampanye.
Dana kampanye pemilu presiden dan wakil presiden yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, dan/atau perusahaan atau badan usaha nonpemerintah paling banyak bernilai Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) selama masa kampanye.
Kedua, batasan dana kampanye untuk DPR dan DPRD tertuang dalam Pasal 16. Dana kampanye untuk DPR dan DPRD yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan paling banyak bernilai Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) selama masa kampanye.
Dana kampanye untuk DPR dan DPRD yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan atau badan usaha nonpemerintah paling banyak bernilai Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) selama masa kampanye.
Ketiga, batasan dana kampanye untuk DPD tertuang dalam Pasal 22. Dana kampanye pemilu anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan bernilai paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) selama masa kampanye.
Dana kampanye pemilu anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan atau badan usaha nonpemerintah bernilai paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah) selama masa kampanye.
Di sisi lain, Hasyim juga menyoroti dugaan aliran dana kampanye yang berasal dari peredaran narkotika atau tindak pencucian uang. KPU akan berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Selama ini antara KPU dan PPATK sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk menelusuri aliran transaksi keuangan itu sudah bekerja sama dan selama ini kalau ada aliran dana yang mencurigakan disampaikan kepada KPU,” tambah Hasyim.
KPU juga akan memastikan lebih lanjut dana kampanye yang diduga berasal dari tindak narkotika masih dapat digunakan atau tidak sesuai dengan putusan berkekuatan hukum tetap.
"Kalau kemudian kedapatan dan sudah dapat dibuktikan itu berasal dari sumber yang dilarang atau sumbangan yang melampaui batas, atau dari penyumbang yang dilarang, itu ada mekanisme di UU Pemilu yaitu uang itu tidak boleh digunakan untuk dana kampanye dan kemudian harus disetor ke kas negara," imbuhnya.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengendus adanya indikasi pendanaan politik pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang berasal dari jaringan narkotika.
Ketika membuka Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Fungsi Reserse Narkoba Kepolisian Negara Republik Indonesia di Kuta, Badung, Bali, Rabu (24/5), Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Polisi Jayadi mengatakan bahwa indikasi tersebut bukan hal baru melainkan sudah muncul pada Pemilu 2019.
"Sejauh ini apakah ada indikasi keterlibatan jaringan narkotika, kemudian dananya untuk kontestasi elektoral pada tahun 2024, itu sedang kami berikan pemahaman pada hari ini. Akan tetapi, indikasinya kalau melihat data yang lalu memungkinkan itu ada," kata Jayadi.
[Redaktur: Alpredo]