Berkatnews.id | Perlindungan terhadap konsumen bakal diperkuat. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong penguatan perlindungan konsumen ini melalui Pengembangan Sistem Pengaduan Konsumen Nasional pada Sidang Sesi ke-6 Intergovernmental Group of Experts (IGE) on Consumer Protection Law and Policy, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), di Jenewa, Swiss, akhir bulan lalu.
Rencananya, pertemuan lanjutan IGE akan dilakukan pada Oktober 2022 di Indonesia. Staf Ahli Bidang Manajemen dan Tata Kelola Kementerian Perdagangan, Frida Adiati, menjelaskan sistem perlindungan konsumen akan memberikan akses yang mudah, murah dan cepat bagi konsumen di seluruh tanah air untuk mengajukan pengaduan.
Baca Juga:
Wamendag Roro Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terus Menguat
“Sistem ini akan melayani pengaduan konsumen, baik yang dilakukan secara konvensional maupun secara digital,” kata Frida Adiati.
Keterlibatan Kementerian Perdagangan dalam sidang internasional itu menjadi sangat penting, mengingat Kemendag merupakan Koordinator perlindunga konsumen di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Terkait berulangnya setiap tahun kasus-kasus air minum dalam kemasan (AMDK) yang dioplos, dan perdagangan masif tutup botol galon merek ternama sehingga terus merugikan keamanan dan kesehatan masyarakat, konsumen bisa beramai-ramai mengadukan hal ini.
Baca Juga:
Peringati Hari KORPRI, Wamendag Roro Tinjau Penyelenggaraan Donor Darah di Direktorat Metrologi
Bahkan transparansi terkait keamanan air minum dalam kemasan (AMDK) galon juga bisa dilaporkan, karena ada potensi bahaya yang tidak dijelaskan secara terbuka pada kemasan.
Utamanya, saat kosumen memilih dan membeli produk AMDK galon polikarbonat yang ditengarai mengandung senyawa kimia berbahaya Bisphenol A (BPA).
Sistem Pengaduan Konsumen Nasional ini menjadi penting, mengingat semakin besarnya kesadaran dan pengetahuan konsumen tentang hak-hak mereka untuk mendapatkan informasi yang benar, transparan dan jujur mengenai barang yang mereka konsumsi.
Secara terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan,
“Keamanan pangan adalah hak asasi bagi warganegara dan konsumen. Tidak ada kompromi untuk itu, karena keamanan pangan adalah hal yang mendasar.”
Paparan ini disampaikannya dalam acara sosialisasi bahan baku plastik yang mengandung Bisphenol A pada kemasan pangan, dalam acara webinar, beberapa waktu lalu.
“Terkait keamanan pangan, negara sudah hadir dalam konstitusi berbagai produk regulasi, termasuk UU Perlindungan Konsumen, UU Pangan dan UU Kesehatan, PP Label dan Iklan Pangan.”
Menurutnya, saat ini sudah mendesak, masyarakat butuh kemasan pangan berbahan baku plastik yang makin ramah terhadap lingkungan, dan memiliki standar keamanan bagi kesehatan yang makin tinggi. Semakin tinggi standar yang ditentukan, semakin baik bagi perlindungan konsumen.
“BPA pada kemasan pangan, berapa pun kadarnya, adalah polutan bagi kesehatan manusia. Semakin rendah kadar BPA, semakin baik bagi konsumen, bagi kesehatan manusia dan sebaliknya. Konsumen memerlukan standar yang lebih tinggi untuk mewujudkan keamanan pangan yang dikonsumsinya,” katanya.
Sementara itu, lembaga riset produk konsumen, FMCG Insights meminta semua pihak, terutama Kementerian Kesehatan untuk mendukung Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam perumusan aturan labelisasi risiko bahan kimia BPA.
"Seharusnya, Kementerian Kesehatan jadi yang paling terdepan dalam mendukung BPOM dalam penerapan labelisasi galon industri AMDK," ujar Koordinator Advokasi FMCG Insights Willy Hanafi.
Menurut Willy, kebijakan BPOM dalam upaya labelisasi galon mengandung BPA sudah benar. Karena BPOM merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, di mana produsen AMDK memiliki kewajiban untuk memberikan informasi secara detail dan transparan mengenai suatu produk.
Willy berpendapat, masyarakat sebagai konsumen berhak tahu tentang potensi ancaman yang bisa ditimbulkan dalam peluruhan zat kimia galon BPA pada produk air minum.
Dia menyamakannya dengan kebijakan penerapan kalimat peringatan pada kemasan bungkus rokok atau pictorial health warning (PHW).
“Industri rokok dan AMDK, sama-sama berkontribusi sangat besar dalam memberikan pemasukan pajak kepada negara. Tetapi kenapa perlakuan di antara kedua industri tersebut sangat bertolak belakang?” katanya.
Pelabelan PHW bahaya rokok sudah diterapkan, sebaliknya pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” pada galon AMDK justru mendapatkan perlawanan.
"Cantumkan saja label BPA pada galon AMDK, dan biarkan publik menilai sendiri apa yang dikonsumsinya," katanya.
Keberpihakan negara, menurut Willy, harus lebih condong dalam melindungi kepentingan publik dibandingkan kepentingan privat.
"Jangan malah sebaliknya, kepentingan privat dalam hal ini perusahaan mengalahkan kepentingan publik, yakni kesehatan masyarakat," katanya.
Willy mengatakan, pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” pada kemasan AMDK galon polikarbonat akan berdampak positif.
“Dampak positifnya lebih besar dibandingkan kerugian kesehatan yang akan menjadi tanggungan masyarakat kelak di kemudian hari,” katanya.
Sejak 20 April 1999, Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8 Tahun 1999 mulai sah diberlakukan. Undang-undang ini mengatur secara rinci tentang pemberian perlindungan kepada konsumen.
UU Perlindungan Konsumen secara jelas mengatur: Produsen dilarang menutupi ataupun mengurangi informasi terkait produk maupun layanannya.
Dengan demikian, produsen yang tidak memberikan informasi sejujurnya tentang kandungan BPA pada kemasan plastik, utamanya galon polikarbonat, bisa dikatakan sudah melanggar UU Perlindungan Konsumen.
Di sinilah arti pentingnya regulasi pelabelan pada kemasan galon air minum dalam kemasan yang mengandung BPA. Pelabelan BPA adalah amanat UU Perlindungan Konsumen. [jat]