Berkatnews.id | Semua produksi pupuk organik Muhammad Basori Alwi dilakukan di rumahnya. Di Dusun Beji RT 09 / RW II, Desa Banjarsari, Kecamatan Sumberasih. Untuk menuju rumahnya, harus melintas gang yang sudah berpaving. Saat ditemui, Basori sedang sibuk dengan tanaman dan proses pembuatan pupuk kompos.
Halaman depan dan samping rumah Basori dipenuhi dengan tanaman dan pohon buah. Ada juga tumpukan pupuk kompos yang baru setengah proses. Selain itu, ada juga sejumlah karung sak, yang berisi sampah-sampah organik berupa daun-daunan. Ada daunan yang sudah mulai mengering, ada juga daunan yang masih basah.
Baca Juga:
Gerakkan Tani Pro Organik: Meningkatkan Hasil Panen dan Mengurangi Ketergantungan Petani di Kalbar
Setelah mengenalkan diri, wartawan diajak ngobrol sembari dia menunjukkan pupuk kompos buatannya. Kemudian mengajak, ke lahan perkebunan milik keluarganya. Di lahan dengan ukuran cukup luas itu, sejulah tanaman sayuran, buah-buahan ada. Salah satunya, tanaman buah jeruk Bali.
”Semua tanaman ini menggunakan pupuk kompos,” ujarnya.
Duduk santai di teras musala, Basori menceritakan, gagasan untuk mengolah sampah menjadi pupuk kompos itu terjadi sekitar 7 tahun lalu. Saat itu, dirinya melihat ada tetangga atau saudara yang masih muda, terserang sakit stroke dan lainnya.
Baca Juga:
Petani di Bojonegoro Mulai Beralih Pupuk Organik
Sempat tanya pada dokter, ternyata salah satu faktor penyakit itu menyerang adalah, makanan yang dimakan. Jika makanan banyak mengandung bahan kimia, atapun tamanan banyak memakai pupuk kimia, tentu jangka panjangnya berpengaruh ke kesehatan.
”Dari situ, saya dan istri pun mikir. Bagaimana caranya, biar kita jaga makanan sehat yang dimakan. Jadi, lahan yang ada ditanami sayur-sayuran,” katanya.
Basori menerangkan, istrinya pun diminta jika membeli sayur. Basori masih ingat, dia memilih sayur yang berlubang karena dimakan hama. Secara logika, jika tanaman itu dimakan hewan atau hama, tentu masih aman.
Tapi jika sayuran itu tidak tidak dimakan hama sekali, curiganya malah terlalu banyak pupuk kimia dan hama saja tidak mau makan.
”Saya dan istri pun berpikir, untuk membuat pupuk kompos untuk tanaman saya di rumah sendiri,” tambahnya.
Singkatnya, sekitar 2 tahun terakhir Basori intens untuk membuat pupuk kompos. Kebetulan, dirinya juga masuk dalam anggota kelompok tani Sumber Rejeki Lima.
“Saya belajar sana sini. Tanya pada yang paham tentang pupuk kompos organik," tambahnya.
Dari situ dia terus mencoba untuk takaran atau campuran yang pas untuk pembuatan pupuk kompos organik tersebut.
”Alhamdulillah, untuk sekarang dalam sebulan, saya dan 11 orang teman kelompok tani, bisa hasilkan 5 ton pupuk kompos organik jenis bokasi padat. Tidak hanya pupuk padat, saya juga buat pupuk cair. Tiap bulan itu bisa hasilkan 200 liter pupuk organik cair (POC) dan pestisida nabati 100 liter dalam sebulan,” ungkapnya.
Darimana bahan pembuatan pupuk kompos organik semua itu? Basori mengungkapkan, dulunya hanya mengandalkan sampah-sampah organik dari keluarga sendiri. Tetapi, saat ini sudah ada beberapa warga yang aktif, kumpulkan sampah organik (daun) dan diantarkan ke rumahnya.
Selain itu, dirinya juga sudah meminta pada peternak, kotoran ternak dan air kencingnya untuk tidak dibuang. Tetapi, bisa diantar ke rumahnya. Nantinya, dirinya akan ganti biaya antar itu.
Tidak hanya menjadikan sampah-sampah itu sebuah nilai materi bagi masyarakat. Baginya paling penting lagi, mengubah kebiasaan membuang sampah di sungai atau membakar itu.
Harapannya, tidak ada lagi warga yang membuang sampah ke sungai atau membakarnya. Begitu juga kotoran ternak, baik sapi maupun kambing.
”Biasanya, satu karung kecil sampah organik (daun) itu saya kasih uang seribu atau lebih. Untuk kotoran hewan ternak, biasanya satu karung itu saya kasih 5 ribu. Sebenarnya bukan membeli sih, tapi hanya sebatas uang ganti mengantar sampah itu,” terangnya.
Pupuk kompos organik yang dihasilkan dikatakan Basori, sangat dirasakan manfaatnya. Apalagi, di tengah harga pupuk kimia yang terus naik dan mahal.
Dengan pupuk organik itu, petani dapat lebih hemat. Sebab, pupuk organik 1 ton itu hanya dengan harga Rp 1,5 juta. Jika dibanding dengan pupuk kimia, 1 ton bisa sampai harga Rp 3,6 juta.
Bahkan, lahan pertanian yang terus menerus menggunakan pupuk organik, akan lebih bagus hasil panennya. Selain itu, menjadikan lahan tahan semakin subur.
”Saya pernah coba ke lahan pertanian. Saat itu tanam padi dengan lahan seperempat hektare. Waktu itu memang gunakan murni pupuk kompos organik dari awal. Ternyata, hasil panennya juga sama dengan tanaman padi menggunakan pupuk kimia,” terangnya.
Hanya saja diakui Basori, belum semua petani yang mau beralih menggunakan pupuk organik. Karena, petani saat ini sudah terlanjur milih praktis dan cepat dengan pupuk kimia. Padahal, dari segi biaya lebih hemat. Kemudian, lahan lebih subur dan hasil panen juga lebih sehat.
”Tantangan berat itu mengubah mindset petani untuk tidak fanatik menggunakan pupuk kimia. Sebab, pupuk organik itu aslinya lebih bagus dan sehat,” ungkapnya.
Ditanya kendala yang dialami selama memproduksi pupuk kompos organik itu? Basori mengaku, belum memiliki mesin alat pencacah. Dirinya dan temannya, mencacah sampah-sampah itu dengan cara manual menggunakan celurit. Harusnya, lebih cepat dan praktis menggunakan mesin alat pencacah sampah.
”Sekarang semuanya masih manual,” tuturnya. [jat]