KRT.WahanaNews.co, Jakarta - Hidangan China dan makanan cepat saji Amerika Serikat (AS) menjadi inspirasi bagi Netflix, platform penyedia hiburan streaming asal AS, untuk merambah ranah fiksi ilmiah China lewat serial terbarunya yang diadaptasi dari novel "The Three-Body Problem", memicu pro-kontra di media sosial China.
Serial dengan delapan episode itu, yang diangkat dari novel peraih penghargaan Hugo Award karya penulis terkenal asal China Liu Cixin, memiliki perbedaan yang signifikan dari versi aslinya, memicu reaksi emosional dari para penggemar fiksi ilmiah.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Serial itu mengubah latar tempat cerita menjadi Inggris, serta mengganti gender, etnis, dan bahkan nama beberapa karakter utama yang di dalam novelnya berkebangsaan China.
"Beberapa bagian cerita dan pergulatan batin dari sejumlah karakter utama diinterpretasikan dengan berbeda. Ini menjadi cerita yang berbeda," ujar Fan Min, yang merupakan penggemar berat "The Three-Body Problem".
"Latar multiprotagonis yang kontroversial dan tiga alur cerita yang relatif jarang (diterapkan) pada versi Netflix itu telah mengoptimalkan tempo (cerita) dalam trilogi 'Three-Body Problem', yang disesuaikan dengan audiens muda yang terbiasa dengan video TikTok yang serba cepat dan terfragmentasi," urai seorang warganet dengan nama pengguna "Wannian".
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Serial itu mendapat perhatian yang cukup besar, dengan tagar "Netflix's Three Body Problem" di platform microblogging China Weibo mencatatkan lebih dari 170 juta view dan memperoleh 95.000 komentar. Perdebatan serupa juga merebak di Reddit, platform asal AS.
Banyak penonton di seluruh dunia memuji serial adaptasi itu karena aksesibilitasnya terhadap audiens Barat, dengan serial itu meraih popularitas yang tinggi di luar China.
Keberhasilan serial garapan Netflix itu dari segi stastistik, dengan 115,6 juta jam penayangan dan posisi teratas dalam daftar mingguan untuk 10 film dan serial televisi yang paling banyak ditonton di platform tersebut pada 25-31 Maret, menggarisbawahi daya tarik global dari kisah tersebut.
"Sebagai pribadi yang dibesarkan di China, karya saya secara alami dipengaruhi oleh budaya China. Namun, saya ingin novel saya dapat diterima oleh para pembaca di AS dan negara-negara lainnya," kata Liu dalam sebuah sesi wawancara, merefleksikan harapannya untuk meraih penerimaan lintas budaya.
"Saya telah selesai (menonton) '3 Body Problem' di Netflix dan saya sangat menikmatinya. Saya menikmati pengembangan cerita dan mayoritas tokoh di serial itu, terutama Jin Cheng dan Ye Wenjie," cuit seorang penggemar fiksi ilmiah.
"Saya belum menonton serial adaptasi (novel itu) versi China atau membaca bukunya. Namun, saya berencana untuk melakukan keduanya."
Setelah hasil adaptasi Netflix tersebut meraih kesuksesan, penjualan buku fisik dan e-book "The Three-Body Problem" di Amazon.com menduduki posisi dua teratas dalam kategori literatur dan novel di platform tersebut.
Sementara itu, sebuah properti utama yang muncul dalam dua episode pertama serial itu, yakni karya bertema ilmu lingkungan bertajuk "Silent Spring" yang diterbitkan pada tahun 1962, juga kembali populer.
Selain itu, interpretasi Netflix atas karya fiksi ilmiah China juga membangkitkan introspeksi di kalangan penggemar soal Westernisasi dalam penceritaan literatur dan konten China.
Chen Peng, profesor dari Universitas Nankai China, memberi pernyataan yang lebih optimistis. Dia mengatakan bahwa dirinya menganggap serial tersebut adalah contoh apik dari cerita fiksi ilmiah China yang diadaptasi ke dalam film dan serial televisi di luar negeri.
"Dari perspektif komunikasi lintas budaya, hal ini merupakan langkah yang positif," ujarnya, sembari menekankan bahwa karya yang sesuai dengan karakteristik budaya dan kebiasaan kognitif dari negara-negara sasaran dapat mencapai komunikasi yang efektif.
"Beberapa bagian dari budaya orisinal harus disesuaikan dalam proses tersebut."
Kritikus drama China Jiang Ying menyampaikan bahwa perbincangan hangat dan kontroversi seputar serial adaptasi versi Netflix tersebut merefleksikan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh karya-karya China dalam prosesnya untuk merambah ke luar negeri.
"Mengadaptasi mahakarya fiksi ilmiah ke dalam karya film dan televisi selalu menjadi tugas yang berat," tutur Jiang.
"Penting untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan komersial dan hasrat artistik."
"Bagaimanapun juga, akan sangat baik bagi lebih banyak orang di seluruh dunia untuk mengetahui karya sastra China dan berminat mengeksplorasi teks-teks aslinya," kata Chen.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir]